[caption caption="Sumber: paritazt.xtgem.com"][/caption]
Pagi itu usai sholat Subuh, ia berjalan tertatih menuju halaman rumah yang ditumbuhi rumput ilalang. Sejenak ia bersimpuh. Mencabuti rumput-rumput liar itu dan menyisihkannya dengan hati-hati. Sementara mulutnya tak henti berkomat-kamit. Entah apa yang dirapalnya. Mungkin sebait doa. Atau bisa jadi senandung mantra.
Saat mentari muncul dan menyoroti wajah keriputnya, matanya berkejap-kejap. Silau. Ia pun berusaha berdiri dengan susah payah. Dilihatnya embun yang menetes pada dedaunan mulai mengikis. Didengarnya kicau burung pipit bersahutan di atas dahan pohon manggis. Tanpa sadar perempuan itu tersenyum. Tipis.
Beberapa bocah berlarian di sepanjang jalan depan rumahnya. Bocah-bocah berseragam itu melambaikan tangan ke arahnya. "Nek! Sepulang sekolah nanti kami mampir ya!" mereka berseru riang. Perempuan itu hanya mengangguk.
Ia berjalan menuju belakang rumah. Didekatinya kandang-kandang ayam yang berjejer memanjang. Dibukanya satu per satu pintu kandang-kandang itu. Sontak para penghuninya giras berhamburan.
"Jangan bermain jauh-jauh. Sebentar lagi waktunya sarapan," perempuan itu berkata kepada ayam-ayam yang sudah berlarian menjauh.
Perlahan ia meraih sapu lidi yang tergeletak di ujung kandang. Mengencangkan ikatannya sejenak. Lalu dengan gerakan lamban ia mulai membersihkan kotoran ayam yang berserakan.Â
Daun-daun berguguran menyentuh kakinya yang beralas sandal jepit.
"Ah, cepat nian musim berganti," ia bergumam seraya mendongakkan kepala ke atas pohon yang mulai meranggas.
Kemudian pandangannya beralih pada tanaman empon-empon yang daunnya mulai menguning.
"Ini sudah panen yang kesekian kali," kembali ia bergumam. Entah apa maksudnya ia bergumam seperti itu. Tapi yang pasti, dari sorot matanya terbaca, ia tengah memendam rindu.