Adegan tersebut membuatku makin kagum pada Abah Karman. Timbul dalam pikiranku untuk memberi sedikit rejeki padanya. Lagi-lagi dia menolaknya.
"Terimakasih banyak atas kemurahan hatinya. Tapi maaf abah gak bisa terima, takutnya kebiasaan. Kalau sudah kebiasaan, bisa-bisa lupa dengan namanya perjuangan hidup" tuturnya. Membuat aku semakin jauh lebih kagum.
Sepeninggal Abah Karman, aku bisa memetik pelajaran, bahwa syukur dan sabar merupakan dua kata yang akan selalu berjalan mengikuti rumus kehidupan. Ia adalah kunci kebahagiaan. Karena setiap insan di bumi ini pasti pernah mengalami suka dan duka.Â
Tak ada manusia yang hidupnya selalu suka, senang dan nyaman. Â Pasti di tengah-tengah kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka ada ujian dan cobaan. Di sinilah rasa syukur dan sabar yang diiringi dengan ketulusan sangat diperlukan. Syukur ada untuk mengiringi kesenangan. Demikian juga sabar hadir untuk mengimbangi ujian dan cobaan.
Syukur yang dimaksud di sini bukan hanya dengan mengucapkan alhamdulillah. Tapi lebih kepada bagaimana memanfaatkan kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada-Nya.Â
Demikian halnya dengan sabar, yang maknanya tidak hanya berdiam diri dan tidak berusaha untuk keluar dari ujian dan cobaan yang menimpa. Tapi, sabar bermakna menerima apa yang telah ditimpakan kepada seseorang seperti musibah, dengan catatan tetap berusaha untuk senantiasa bangkit dan menyelesaikan persoalan yang ada.
Seperti halnya Abah Karman. Sesulit apapun hidup dia, namun hatinya selalu dipenuhi rasa bahagia dan damai. Karena syukur dan sabar telah dijadikan pedoman hidupnya.***