Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Si Tukang Balon

20 Agustus 2019   07:37 Diperbarui: 20 Agustus 2019   19:56 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi penjual balon. (pixabay/elifhazalzkse)

SEBAGAI penjual balon keliling, Abah Karman hampir setiap hari menyisir jalan yang melintas depan rumahku, dengan mengayuh sepeda ontel tua. 

Tubuhnya yang mulai ringkih di makan usia, bukan alasan bagi laki-laki berusia 67 tahun ini tidak semangat mengais rejeki  untuk menyambung hidupnya dengan sang isteri tercinta. Dia terus berjualan dengan kemana pun kaki mengayuh. "Tetot..tetot..tetot" itulah cara Abah Karman menawarkan balon, memencet klakson manual sepedanya.

Awalnya, aku tak peduli dengan lelaki tua penjual balon ini. Sebagai pedagang, setua apapun tetaplah pedagang. Dalam otaknya yang terpikir pasti keuntungan. Sampai suatu hari, dia kembali melintas persis di depan rumah. Tiba-tiba sekelompok anak-anak yang sedang mengejar layangan putus, menubruk sepeda Abah Karman. 

Lelaki tua ini jatuh, beberapa balonnya pun ikut meletus. Si anak yang menabrak pun kaget dan langsung pucat, siap menerima sumpah serapah dari Abah Karman. Jujur, aku pun berpikir, lelaki ini akan marah dan meminta ganti rugi. 

Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Abah Karman yang tersungkur   dan sikut lengannya lecet-lecet hanya tersenyum. Bahkan, ia meminta si anak tadi lebih berhati-hati sambil mengingatkan akan bahayanya mengejar layangan putus di pinggir jalan.

"Untung yang kena tabrak hanya sepeda butut abah. Coba kalau kendaraan gede, kan bisa celaka. Lain kali lebih hati-hati ya nak...!" Tutur Abah Karman, sambil tersenyum.

Melihat kejadian ini, aku terenyuh lalu mengajaknya ke teras rumah, sekedar istirahat dan melepaskan lelah. Setelah kuobati luka lecetnya dan diberi minuman mineral. Aku pun mulai bertanya tentang asal-usul, keluarga dan berapa lama si abah berjualan.

Abah Karman mengais rejeki dari berjualan balon sudah hampir 20 tahun. Baginya, setiap hari adalah hari kerja. Dimana dan kapan ada peluang untuk menghasilkan rupiah, di situ dia akan terus berusaha. Namun, yang namanya jualan tak selamanya untung. 

Ada kalanya merugi, seperti kejadian yang menimpanya barusan. Bagi dia untung dan rugi tetap patut di syukuri. Karena menurutnya semua itu datangnya dari Allah.

"Manusia kan wajibnya berusaha. Mengenai untung ruginya sudah ditentukan sama yang di atas" ucapnya.

Bertemu dengan Abah Karman bagiku merupakan pelajaran hidup berharga, yang tak pernah aku dapatkan dari sekolah manapun. Ilmu ikhlas yang dia miliki sungguh jarang dimiliki setiap orang termasuk aku.

Hebatnya, Abah Karman tak pernah mau menggantungkan hidupnya pada siapapun termasuk anaknya sendiri. Padahal ketiga orang anaknya sudah bekerja dan hidup berkecukupan. Bahkan dua diantaranya berfrofesi sebagai guru di sekolah dasar.

"Kalau mau, mungkin abah bisa tinggal dengan anak-anak, tidak perlu repot-repot cari duit. Tapi Abah tidak mau. Lebih baik hidup miskin daripada membebani orang lain" Ujarnya.

Tiba-tiba di tengah perbincanganku dengan Abah Karman, ada seorang ibu dan anaknya yang sedang nangis ingin balon. Namun tampaknya si ibu itu tengah tergesa-gesa. Namun, karena tangisan si anak makin keras, ia pun terpaksa membeli balon dari Abah Karman.

"Berapa satunya balon ini kek?"

"7500 rupiah neng" Jawabnya.

Si ibu itu pun menyodorkan uang lembaran lima puluh ribu rupiah. Abah Karman kebingungan, karena tidak ada uang kembaliannya.

"Gak ada uang pas ya neng?"

"Duh gak ada kek. Gimana ya?" Si ibu juga kebingungan.

"Ya udah gak apa-apa neng. Ambil aja dulu uangnya. Abah lihat ibu lagi buru-buru. Lain waktu aja bayarnya kalau kita ketemu lagi" kata Abah Karman, sambil terus melepas senyum.

"Beneran nih kek?" Si ibu kurang percaya.

"Beneran neng.  Abah ikhlas lilahi ta'ala" kembali tersenyum ramah.

Adegan tersebut membuatku makin kagum pada Abah Karman. Timbul dalam pikiranku untuk memberi sedikit rejeki padanya. Lagi-lagi dia menolaknya.

"Terimakasih banyak atas kemurahan hatinya. Tapi maaf abah gak bisa terima, takutnya kebiasaan. Kalau sudah kebiasaan, bisa-bisa lupa dengan namanya perjuangan hidup" tuturnya. Membuat aku semakin jauh lebih kagum.

Sepeninggal Abah Karman, aku bisa memetik pelajaran, bahwa syukur dan sabar merupakan dua kata yang akan selalu berjalan mengikuti rumus kehidupan. Ia adalah kunci kebahagiaan. Karena setiap insan di bumi ini pasti pernah mengalami suka dan duka. 

Tak ada manusia yang hidupnya selalu suka, senang dan nyaman.  Pasti di tengah-tengah kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka ada ujian dan cobaan. Di sinilah rasa syukur dan sabar yang diiringi dengan ketulusan sangat diperlukan. Syukur ada untuk mengiringi kesenangan. Demikian juga sabar hadir untuk mengimbangi ujian dan cobaan.

Syukur yang dimaksud di sini bukan hanya dengan mengucapkan alhamdulillah. Tapi lebih kepada bagaimana memanfaatkan kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada-Nya. 

Demikian halnya dengan sabar, yang maknanya tidak hanya berdiam diri dan tidak berusaha untuk keluar dari ujian dan cobaan yang menimpa. Tapi, sabar bermakna menerima apa yang telah ditimpakan kepada seseorang seperti musibah, dengan catatan tetap berusaha untuk senantiasa bangkit dan menyelesaikan persoalan yang ada.

Seperti halnya Abah Karman. Sesulit apapun hidup dia, namun hatinya selalu dipenuhi rasa bahagia dan damai. Karena syukur dan sabar telah dijadikan pedoman hidupnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun