Bagai jemuran tali ravia. Panas hujan tertiup angin. Rapuh. Mudah putus.Â
Nasib pujangga. Bukan mata pencaharian. Tak dibutuhkan. Tak ada yang bayar. Menebar romantisme. Merekam hidup. Tak bermakna.Â
Tanpa tanggapan. Hanya debu debu yang tertiup angin. Lewat tanpa apresiasi. Ada tak dianggap. Pergipun tiada yang mencari. Ada atau tiada, kosong.Â
Hadirpun tiada makna. Pergipun tetap tak bermakna. Pujangga rapuh. Tertiup angin. Tiada yang rindu. Tiada yang membutuhkan. Ada atau tiada, sama saja.
Untuk apa menulis. Jadi pujangga bego. Tapi inilah aku. Yang tetap berkarya. Tetap mengisi relung hampa. Agar terisi. Oleh debu debu. Yang tertiup. Walau itu tak punya arti.
Nasib pujangga gratisan. Tak menghibur siapapun. Hanya sedikit apresiasi. Tak dikenal. Menebar sampah sampah sastra. Memenuhi jagad Maya. Tak ada yang baca karyanya. Curhat bisu, dibaca sendiri.
Aku ada, untuk berkarya. Aku ada, tak menuntut untuk dibaca. Disyukuri tanpa protes. Dinikmati saja. Tetap berkarya, walau tak bermakna.Â
Malang, 6 Februari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H