Wareg itu kenyang. Tapi aku lapar. Karena aku tak mampu ke sana. Kecuali melihat orang orang makan di warung sana.
Kelaparan di tengah orang makan. Ketika wareg hanya ilusi sulapan. Kenyang hanya tontonan. Seperti anak ayam, yang mati di lumbung padi simpanan.
Tak bisa, tidak ada. Itu jawaban ya selalu kudengar. Tak dibantu, itu yang kurasakan. Dibiarkan, seolah aku tontonan. Â Penderitaanku jadi hiburan. Biar kapok, terus ditertawakan.Â
Aku dianggap sampah. Jijik melihatku, Seolah aku tahi yang terinjak injak. Yang diusir saat meminta, Â yang ditolak tapi tak dipercaya dan aku pun harus pergi dengan tangan hampa.
Hidup memang cobaan. Ini akan kusimpan. Selamanya, Akan kukenang. Bahwa aku pernah semiskin ini. Sampai tak bisa makan berhari hari.
Pingin wareg hanya lihat orang makan. Pingin punya kekasih hanya membayangkan. Pingin punya uang, hanya lihat orang ke bank. Seolah itu semua dosa terlarang.
Inilah cerita kemiskinanku. Haus dilarang. Lapar dilarang. Sakit dilarang. Semua terlarang. Hanya disuruh diam. Sabar yang ditahan. Jadi tontonan. Tak ada solusi jalan keluar. Lalu kemiskinan ini Untuk ditertawakan.
Siapa sekarang yang durhaka? Aku bertanya. Usaha pun sudah kucoba. Terus siang malam tanpa mengeluh lelah. Semangat tanpa putus asa. Bermohon dalam doa, jadi wirid disetiap langkah menuju Ridho ya.Â
Sihir apa yang kuhadapi. Hidup jadi sengsara seperti ini. Mereka pun tertawa menari-nari. Melihat penderitaan ini.
Lapar depan wareg akan jadi memori. Siapa yang paling laknat akan terima balasan Ilahi. Siapa durjana akan terbukti. Keadilan akan datang menemani.
Ditulis Eko Irawan, di Tlatah Bumi Kepuh, 3 Desember 2020.