Pemerintah Kota Surabaya baru saja meresmikan Monumen Ayam Jago pada tanggal 1 September 2025. Monumen (Tugu) Ayam Jago ini berdiri tepat di perempatan Jalan Raya Menganti Wiyung, Lidah Wetan, Lakarsantri, Surabaya.
Tugu tersebut juga berada tepat di perempatan Jalan Babatan menuju Lidah Wetan. Monumen ayam jago dibangun setinggi 7 meter sebagai simbol kesejahteraan warga Lidah yang dulunya bernama Lidah Donowati.
Tempat ini adalah lokasi di mana Raden Sawunggaling alias Joko Berek tinggal bersama ibunya, Dewi Sangkrah. Monumen ini menjadi salah satu ikon Kota Surabaya, setelah sebelumnya sudah ada Monumen Sura dan Baya sebagai ikon nama Kota Surabaya.
Pembangunan monumen tersebut merupakan wujud penghargaan Pemerintah Kota Surabaya untuk kegiatan napak tilas mengenang perjuangan Raden Joko Berek Sawunggaling. Acara ini digelar setiap tahun oleh warga Lidah Wetan.
Dalam kirab tersebut, ratusan warga mengikuti tradisi Kirab Sawunggaling Tagih Janji yang digelar dengan berjalan dari Kelurahan Lidah Wetan menuju makam Raden Sawunggaling. Joko Berek merupakan nama populer di Jawa Timur.
Nama Joko Berek dipercaya warga sekitar sebagai sosok yang membabat alas (membersihkan hutan) di Kota Surabaya pada saat itu. Selain itu, Joko Berek juga memiliki hobi memelihara ayam, sering berjalan membawa ayam, dan suka adu ayam jago.
Saya ikut bangga dengan terbangunnya Monumen Ayam Jago yang diresmikan oleh Pemkot Surabaya. Ini merupakan langkah nyata kepada warganya sekaligus melestarikan budaya lokal.
Saya juga terharu karena sebelum monumen ayam jago tersebut diresmikan, terlebih dahulu saya menulis kisah/legenda Sawunggaling di Kompasiana. Hal itu saya lakukan tanpa tahu kabar bahwa akan ada peresmian monumen tersebut, mungkin karena kurang mengikuti media sosial.
Saya menulis cerita bersambung (cerbung) hampir tiap hari di Kompasiana sejak tanggal 16 Agustus 2025 hingga berakhir 8 September 2025 pada episode ke-15. Tujuan saya menulis saat itu adalah untuk ikut berpartisipasi dan memeriahkan HUT RI ke-80.
Bagiku, momen ini penting sekali dan tepat untuk mengenang para pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah hampir 3,5 abad. Tokoh Sawunggaling saya tulis karena relevan dengan perjuangannya yang heroik melawan penjajahan Belanda dan kaum bangsawan zalim.
Selain itu, tujuan tulisanku adalah untuk generasi muda agar dapat mengenal lebih dalam sosok Sawunggaling. Mereka bisa mengambil hikmah dari perjuangannya.
Memahami kisah ini bukan hanya bentuk pelestarian budaya dan sejarah daerah, tetapi juga upaya menumbuhkan semangat nasionalisme serta rasa keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, legenda ini menjadi inspirasi lintas generasi dari akar budaya hingga pengaruhnya di era modern.
Hal itu tercermin dalam berbagai karya dan produk simbolis yang mengangkat nama Sawunggaling. Tulisan saya di Kompasiana juga mendapat beragam komentar.
Yang menarik, pada episode 6 ada komentar dari saudara Yudhistira Mahasena (Desainer Grafis) yang menulis:
"Bagus sekali, Mas Eko. Jarang sekali saya lihat ada tulisan di Kompasiana yang membahas kebangkitan heroisme dan kesadaran kebangsaan dalam bentuk cerbung. Ini bagian penting dari sejarah negara kita yang harus diceritakan ke generasi-generasi muda."
Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Mas Yudhistira yang telah memperhatikan budaya lokal dari tokoh Sawunggaling. Sosok heroisme ini melegenda di Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya, memberi kesadaran kepada generasi muda untuk membangkitkan jiwa nasionalisme.
Saya juga mencatat sahabat kompasianer yang sejak awal episode hingga akhir memberikan respons. Data yang saya peroleh:
Melihat sebanyak 1.554 kali, rata-rata 102.
Rating sebanyak 70, rata-rata 4,7 (terbanyak rating "Menarik" dan "Inspiratif").
Komentar sebanyak 25, rata-rata 1,67.
Di antara kompasianer yang memberikan rating terbanyak adalah Bapak Benny Eko Supriyanto dan Bapak Puji Widodo. Saya ucapkan terima kasih kepada beliau dan sahabat kompasianer lainnya atas atensi, rating, dan komentar untuk cerbung “Sawunggaling: Dari Legenda ke Ikon Kota”.
Semoga cerbung ini memberi warna di Kompasiana sebagai tempat berkumpulnya para penulis yang militan.
Sampai jumpa lagi tulisan bersambung judul baru...
Sidoarjo, 12 September 2025
Eko Setyo Budi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI