UU Perlindungan Konsumen memberikan dasar hukum yang cukup kuat bagi debitur untuk melawan eksekusi yang dilakukan secara sepihak dan tanpa memperhatikan kepentingan konsumen. Dalam Pasal 18 ayat (1) UU tersebut ditegaskan bahwa:
"Pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha."
Jika perjanjian kredit mengandung klausul baku yang menghilangkan hak debitur untuk menolak eksekusi, atau meniadakan hak untuk menunda pembayaran dalam kondisi force majeure, maka klausul tersebut bisa dibatalkan.
Banyak kasus di mana pengadilan membatalkan eksekusi atas dasar pelanggaran terhadap hak konsumen. Bahkan dalam sengketa pembiayaan kendaraan, Mahkamah Agung pernah memutus bahwa perusahaan pembiayaan tidak boleh serta-merta menarik kendaraan tanpa melalui putusan pengadilan, karena itu melanggar hak konsumen.
Peran Pengadilan dalam Menilai Pembelaan Debitur
A. Kewenangan Hakim dalam Menilai Unsur Itikad Baik
Pengadilan memiliki peran strategis dalam menentukan apakah pelaksanaan hak tanggungan dilakukan dengan memperhatikan asas itikad baik atau tidak. Dalam praktiknya, hakim memiliki kebebasan untuk menilai fakta-fakta hukum dan kondisi sosial dari para pihak, termasuk menilai apakah kreditur telah bertindak adil dan proporsional terhadap debitur.
Itikad baik tidak bisa dibuktikan hanya dari dokumen kontrak. Hakim biasanya akan mempertimbangkan: