Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Hati

14 Februari 2020   14:58 Diperbarui: 15 Februari 2024   10:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar :pngtree

Rasanya baru kemarin saja mengenalmu, berjalan di sampingmu, mendengar suaramu. Rasanya baru kemarin tawa renyah beserta semua humormu menemani hariku. Rasanya baru kemarin kisah-kisah kecil diantara kita terangkai indah. Rasanya baru kemarin senyum manismu selalu indah saat kupandang. Rasanya baru kemarin aku merasakan bahwa kau tercipta hanya untukku. Rasanya baru kemarin aku berharap dirimu kelak akan mengatakan betapa ingin bersamaku selalu. Rasanya baru kemarin aku menginginkan pernikahan denganmu.

Lalu...Rasanya baru kemarin saja aku menatapmu sendu. Kusadari semua peristiwa diantara kita akan terlupa begitu saja. Kusadari bahwa dirimu takkan pernah berubah. Hanya sekedar menatapku, menyapa seperti biasa, dan TIDAK ADA KATA CINTA.  Rasanya baru kemarin, aku merasakan luka yang begitu mendalam harus melepaskanmu. Bahkan diantara kita tidak pernah benar-benar membuat komitmen terkait asmara. Rasanya baru kemarin, dan terasa begitu menyesakkan dada.

===

Kali ini aku satu penerbangan denganmu. Sebenarnya aku terkejut saat usai sholat subuh lalu bertemu denganmu di luar musola. Dirimu pun merasa terkejut menatapku. Entah berapa lama diantara kita tak ada lagi senda gurau. 

"Mas Bram?" aku menyapanya.


"Hai" jawabnya.

Bram masih memiliki senyum yang sama, tatapan yang sama. 

"Mau dinas ke mana?" tanyaku

"Surabaya"

"Ohhh, sama. Ke kantor pusat?"

"Iya"

"Oh ya sudah nanti bareng ya"

Bram mengangguk pelan.

Dalam pesawat bayangan tentang kenangan bersama Bram seakan film yang dipasang di pelupuk mataku. Seandainya saja aku bisa jujur, aku  masih merasakan bahagia di dekatnya, sama seperti dulu. Rasa nyaman, rasa bahagia seakan memenuhi rongga pikiranku. 

Pesawat landing dengan sempurna. Saat menuju pintu keluar bandara, kulihat Bram sedang menungguiku.

"Maaf agak lama, tadi mampir toilet dulu" kataku.

Jantungku berdegup kencang saat berada di dekatnya. Tercium aroma parfumnya yang belum juga berubah.

"Sudah aku pesankan taksi" katanya.

Aku dan Bram berjalan menuju pangkalan taksi bandara. Dia duduk di dekat supir sementara aku duduk di kursi bagian belakang.

"Selamat pagi Pak...Mau menuju ke arah mana?" sapa supir taksi.

"Ketintang Pak" jawab Bram.

"Lewat tol?" tanya Pak supir.

"Ini pak pakai E-money  saya, kita lewat tol saja" kataku sembari memberikan sebuah kartu ke Pak Supir.

"Loh ini foto suaminya ta Mbak?" Pak supir mengamati kartu E money yang kupesan khusus.

Aku meringis.

"Saya pikir Mas nya ini yang suaminya Mbak" celetuk Pak supir.

Bram tersenyum kecut, "Maunya begitu Pak"

Aku terhenyak mendengar kata Bram, "Mas, bercandanya jangan kelewatan"

"Siapa yang bercanda" Bram memasang tampang serius, lalu kemudian tersenyum ke arah pak Supir.

"Kalian terlihat serasi, maaf kalau saya salah sangka" ucap supir itu.

Selama perjalanan dari bandara Juanda menuju Ketintang aku dan Bram cenderung diam. Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Nes..." Bram membuyarkan lamunanku.

"Maaf sudah membuatmu merasa tidak nyaman dengan ucapanku tadi" kata Bram.

"Sejak kapan Mas Bram bicara formal sama aku" aku mencoba mencairkan suasana.

"Ya bukankah seharusnya begitu."

"Tidak haruslah"

Bram tertawa kecil, "Aku bingung harus memulai darimana"

"Apanya?"

"Bicara denganmu...aku merasa kita semakin asing"

"Aku tidak merasa begitu"

Bram menoleh ke arahku, "Aku sadar semua harus berubah saat kau akhirnya menikah dengan Mas  Dimas"

Aku mengernyitkan dahi, "Maksudnya?"

"Ya semua hal tentang kita. Ah, mungkin aku saja dulu yang terlalu berharap dirimulah bidadariku"

"Mas Bram bicara apa? Berhenti bercanda ah..."

"Ya, aku dulu berharap dirimu masih menunggu lamaranku. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Mas Dimas sudah melamarmu"

Aku terdiam, "Tapi Mas Bram dulu tidak mengatakan apapun"

"Karena aku tahu dirimu tidak mau pacaran"

"Jadi?"

"Jadi aku hanya memilih untuk melihatmu saja"

"Mas Bram suka aku?" tanyaku penuh selidik.

Mata Bram tampak berbinar menatapku, "Ya...tentu saja aku sangat menyukaimu..."

Aku terdiam.

Ini sudah tahun kedelapan pernikahanku. Andai saja aku boleh jujur, aku belum bisa melupakan Bram. Kehadirannya memang bagaikan malaikat bagiku. Bram selalu menjagaku. Bram selalu membuatku tersenyum, tertawa dan bahagia.

"Dari awal saya sudah menduga. Kalian pasti ada ikatan" celetuk supir taksi.

Bram kini tidak menatapku lagi, melainkan sudah melihat kaca depan taksi.

"Terimakasih ya Pak, membuat saya berani mengungkapkan isi hati saya yang terpendam selama sepuluh tahun ini" kata Bram

"Ya, jika memang kalian sudah sama-sama berumah tangga. Ingat pesan saya ya, tetaplah jalani peran masing-masing. Jangan sampai masalalu membuat rumah tangga kalian hancur." kata Pak supir.

Entah apa yang Bram pikirkan. Tapi apapun itu, aku ingin sekali menangis.

Mengapa harus sekarang aku baru tahu apa yang Bram rasakan. Mengapa tidak sedari dulu saat kami masih bersama.

Taksi pun memasuki halaman depan kantor pusat perusahaan tempat kami bekerja. Aku beranjak pergi ke tempat meeting, dan Bram berada di meeting yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun