Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hati-Hati Balasan bagi Pembuat Film Horor

24 Mei 2024   06:30 Diperbarui: 24 Mei 2024   06:36 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.blibli.com/

Bila kita membuat atau melakukannya sesuatu yang disajikan kepada banyak orang, kita mesti berpikir dengan kritis. Apakah yang saya lakukan atau buat memberikan manfaat bagi banyak orang atau membuat banyak orang menjadi takut atau khawatir.Segala perbuatan mesti ada akibatnya. Janganlah melakukan sesuatu tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu. 

Bila kita membuat sesuatu semata hanya demi keuntungan materi, maka kita membuat orang lebih bodoh. Segala sesuatru yang kita lakukan demi materi atau keuntungan sendiri memberikan indikasi bahwa kita masih berada pada ranah limbik; berkaitan semata dengan emosi dan rasa takut. Otak mamalia berkaitan dengan emosi, sedangkan perasaan takut berkaitan erat denagn otak reptil. Kita tentu masih ingat bahwa sifat reptil hanya dua: Lari atau Lawan; flight or fight. 

Misalnya ada kita membuat film horor, sebagaimana info yang saya dengar dari seorang sufragara bahwa bila membuat film horor dipastikan menangguk banyak cuan. Nah dari sini kita bisa mengerti mengapa akhir-akhir ini banyak sekali film horor yang diputar di gedung bioskop, semata hanya untuk mencari cuan.

Saya tidak menyalahkan atau mengkritisi film yang genrenya demikian, tetapi sangat disayangkan bila kita menebarkan sesuatu yang pada akhirnya membuat orang sakit mental. Mungkin pada saat nonton film demikian banyak yang mengatakan memicu adrenalin dari adanya rasa takut. Tetapi sebagaimana saya pahami bahwa ketika seseorang dibawa ke perasaan takut, frekuensi pikiran kita ditarik ke bawah. Rasa takut, cemas, dan gelisah tanpa disadari membuat pola pikir kita jadi malas dan lemah sehingga tidak ada lagi kemauan untuk memberdayakan diri. Kita terbawa emosi rasa takut, mungkin sesaat nyaman, tetapi bukankah kenyamanan yang dilandasi rasa takut membuat kita sangat lekat dengan sifat mamalia?

Saat berada pada kondisi tersebut, kita tidak lagi bisa menggunakan critical thinking, otak neocortex. Dengan kata lain sesungguhnya kita mengembangkan mamalian brain, otak mamalia. Akibatnya kita membuat orang lemot berpikir. Kita telah membawa orang yang menonton menjadi tidak mampu berpikir kritis. Tepatkah tindakan kita sebagai manusia yang seutuhnya?

Sebagai insan mulia, semestinya kita menebarkan sesuatu yang membuat orang senantiasa menggunakan pikiran kritis, jadi penggunaan otak baru/Neocortex semakin baik. Tontonan yang mendidik, namun saya juga sadar bahwa film seperti ini tidak akan banyak mendulang cuan.


Saya ingat cerita Guru saya tentang seorang sutradara yang membuat film semata untuk memenuhi keinginan idealnya. Banyak orang memuji film tersebut sangat bermutu, tetapi sepi penonton. Tetapi sutradara ini tidak peduli, mungkin bagi dia yang seorang Hindu sangat memahami tujuan utama kelahirannya. Menebarkan kebajikan atau disebut dharma. Kalau saya tidak salah, para nabi atau para suci pun dikirkan ke bumi untuk menyampaikan berita baik tentang kebajikan, dharma. Saya tidak mengatakan bahwa sutradara tersebut sebagai seorang nabi/suci. Tetapi ia memahami bahwa ia selalu berupaya mengembangkan buddhi atau intelegensi. Dengan cara ini ia juga menggunakan Neocortexnya.

Di alam raya ini tidak seorang pun bisa lolos dari hukum sebab-akibat. Apa yang kita tanam, kita akan tuai di masa depan. Bila kita menebarkan tentang yang membuat seseorang tidak bisa mendorong perkembangan Neocortex, maka ia akan menuainya juga di masa depan.  

Dengan kata lain, bila kita memanfaatkan rasa nyaman orang tetap berada di ranah otak mamalia demi keuntungan materi, kita akan mendapatkan akibatnya di masa datang. Mungkin bisa mendulang cuan, tetapi kita harus waspada adanya hukum alam raya.  

       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun