Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutemukan Persaudaraan di Tengah Kegelapan

23 November 2018   08:49 Diperbarui: 23 November 2018   09:08 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kemesraan ini janganlah cepat berlalu...Kemesraan ini ingin kukenang selalu...Hatiku damai jiwaku tentram di sampingmu...Hatiku damai jiwaku tenang bersamamu..." suara kami berbaur menjadi satu, kami duduk melingkari api unggun yang menghangatkan tubuh kami. Kulirik jam tanganku menunjukkan pukul 17.45 WIT.

Lima belas menit yang lalu, minibus yang kami tumpangi dari hutan konservasi menuju penginapan mogok begitu saja. Informasi yang kudapatkan dari Pak Her minibus ini mengalami overheating karena air radiatornyanya bocor. Pak Her ini adalah supir sekaligus pemilik minibus yang sudah puluhan tahun bergelut di bidang wisata hutan ini. Usianya sudah setengah abad, namun semangatnya masih tinggi. Dirinya pernah bercerita bahwa anaknya yang bungsu sudah kelas enam SD dan sebentar lagi akan memasuki jenjang SMP.

Matahari sudah terbenam dan langit tampak begitu kelam.

"Eh ada bintang jatuh" seru Kanaya sambil menunjuk kearah langit yang sudah gelap, sekilas ada cahaya meluncur di sana.

"Make a wish" seru Anggi, kakak kelas Kanaya, orang yang membiayai perjalanan Kanaya, "Semoga kakiku segera sembuh."

Kaki Anggi terkilir karena terlalu bersemangat merekam kuskus tadi siang. Demi mendapat banyak like di instagramnya, remaja tersebut merekam kegiatan kami dari awal berangkat hingga sekarang. Bahkan tak henti-hentinya berfoto ria dengan kamera mirrorless-nya.


"Semoga pemilu tahun 2019 mendatang berjalan aman dan Indonesia mendapatkan pemimpin yang terbaik" sahut Pak Lukman, beliau adalah pemerhati perpolitikan Indonesia.

"Semoga bantuan segera datang sehingga kami sekeluarga bisa naik pesawat besok pagi dan aku bisa hadir di acara Kompasianival" sahut Bu Prita , istri Pak Lukman. Di pangkuannya ada Kevin, anak mereka. Lima menit yang lalu Kevin sempat terserang asma, beruntung Pak Lukman tidak lupa membawa obat-obatan untuk anaknya. Sekarang kondisi Kevin berangsur membaik.

"Semoga aku segera punya pacar yang baik" kata Kanaya bersungguh-sungguh.

"Semoga aku dikaruniai anak laki-laki" ucapku, "Yang ganteng seperti Kevin"

"Aamiin" jawab Pak Her.

"Mbak Ganesha sudah menikah?" tanya Pak Lukman, "Maaf, kupikir masih gadis, karena Mbak Ganesha terlihat masih sangat muda"

"Saya sudah berusia 30 tahun Pak" kataku dengan paras tersipu, "Saya sudah berkeluarga, memiliki dua orang putri, suami saya bekerja di perusahaan swasta di dekat hutan ini. Nanti dialah yang akan menjemput kita menggunakan mobil sedan"

"Mbak Ganesha memangnya sudah lama bekerja di bidang Pariwisata?" tanya Pak Lukman.

"Belum Pak, ini baru sebulan. Saya bekerja part time di sini. Hanya sabtu minggu saja. Kalau hari biasa saya bekerja di kantor" jawabku.

Sejenak Pak Lukman menatap jaket dengan gambar halilintar yang kupakai, "PLN?"

"Iya Pak. Kebetulan saya diamanahi dalam Program Papua Terang. Semoga program ini berjalan lancar dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia bisa menikmati listrik ya Pak" sahutku.

"Wah Mbak Ganesha ini inspiratif sekali. Bolehlah nanti ceritanya saya masukkan di Kompasiana. Saya saat ini sedang menulis tema Generasi Solutif, sepertinya cerita Mbak Ganesha cukup mewakili" sahut Bu Prita.

"Bu Prita penulis? Wahhh, saya juga ingin jadi penulis, tapi susah sekali merangkai kata-kata" sahutku.

Bu Prita tertawa pelan. Wajahnya tidak lagi setegang tadi.

"Bantuan motor dari Pak Anam, penjaga pintu hutan konservasi akan tiba. Tapi dia hanya menggunakan motor. Bagaimana jika penumpang pertamanya Kevin dan Bu Prita?" tawarku.

Semua anggota rombongan mengangguk.

Priiiiitttttttt.....terdengar suara peluit.

"Mister Fred" teriak Kanaya.

Aku hampir lupa bahwa masih ada satu anggota rombongan lagi yaitu turis mancanegara yang merupakan ahli biologi. Tadi Mister Fred sempat bercerita bahwa dirinya tengah berlibur sambil menapaki jejak Alfred Wallace di Indonesia. Beruntungnya bule tujuh puluh tahunan ini sudah fasih berbahasa Indonesia.

"Aku mau mencari Mister Fred dulu. Kupikir dia tersesat setelah BAB" kataku seraya berdiri.

"Aku ikut" kata Pak Lukman mengikutiku berjalan menuju rimbunan hutan, mengikuti suara peluit yang berbunyi.

Kucoba menghubungi ponsel Mister Fred tapi tidak diangkat.

"Ponsel Mister Fred terjatuh saat hiking" terang Pak Lukman.

Aku kembali fokus ke sumber bunyi peluit. Tetiba senter dari ponselku mati. Tunggu, memang baterainya telah habis. Pak Lukman menyenteriku dengan ponselnya.

Akhirnya kami menemukan Mister Fred dengan kaki kiri yang terluka.

"Ja-tuh" kata Mister Fred sambil meringis kesakitan.

Pak Lukman memberikan ponselnya padaku dan dirinya memapah Mister Fred menuju tempat api unggun kami. Beruntungnya Mister Fred membawa tongkat. Jika tidak tubuhku yang pendek ini akan kesusahan untuk memapah lelaki setinggi bule itu.

===

Sesampai di tempat api unggun kulihat Kevin dan ibunya sudah tidak ada.

"Kevin dan ibunya sudah dijemput Pak Anam" kata Kanaya melaporkan.

"Pak Her minta tolong ambilkan kotak P3K di minibus" kataku.

"Kamu bisa P3K?" tanya Pak Lukman.

"Sewaktu masih di Jakarta pernah mendapat pelatihannya Pak. Dan saya termasuk anggota tim P3K di kantor tempat saya bekerja"

"Syukurlah"

Kubalut luka menganga Mister Fred dengan perban.

"Thank You Sweety..." kata Mister Fred.

"Ini hanya sementara Mister, nanti kalau sudah ada bantuan datang kita bawa ke puskesmas dekat penginapan" kataku.

Mister Fred mengangguk.

Greng greng....

Motor Pak Anam pun tiba, "Selamat malam Mbak Ganesha, siapa lagi yang bisa kubawa ke penginapan?"

"Pak Her" jawabku.

"Tapi bagaimana saya membiarkan minibus ini di tengah hutan" keluh Pak Her. Bagaimanapun pertimbanganku mendahulukan Pak Her adalah karena dirinya punya riwayat penyakit jantung. Nah kalau menangani sakit jantung aku belum berpengalaman.

"Besok pagi akan ada montir yang datang kemari" kataku menenangkan. Padahal aku belum menghubungi satu montirpun. Toh baterai ponselku habis.

Pak Her akhirnya menyerah dan ikut motor Pak Anam.

"Terimakasih Pak Anam" kataku.

Satu jam sudah berlalu sejak minibus kami mogok. Kami mengisi waktu dengan bercerita satu sama lain. Baru kutahu ternyata Kanaya adalah anak indigo. Pantas saja dia takut gelap.

"Coba hantu bisa direkam. Keren kali ya" celetuk Anggi.

Kanaya merengut. Anggi selalu tidak percaya dengan adanya hantu dan sejenisnya. Api unggun pun mulai redup. Suasana makin mencekam ketika lolongan anjing dan suara binatang malam mulai terdengar.

Anggi dan Kanaya duduk merapat padaku.

"Satu jam lagi mobil suamiku datang. Sebaiknya kita bernyanyi saja seperti tadi" seruku.

"Emang lagi syantik tapi bukan sok cantik....lalalala" Anggi dengan genitnya menyanyikan lagu Siti Badriah. Kami semua tertawa terbahak melihat gayanya menyanyi.

===

Gerimis mulai turun sampai akhirnya kudengar suara klakson cukup jelas. Mobil suamiku telah datang bersamaan dengan kedatangan motor Pak Anam.

"Maaf Mbak Ganesha tadi bannya sempat bocor, jadi ganti ban dulu di tempat penginapan" kata Pak Anam.

"Oh tidak apa-apa Pak. Terimakasih atas bantuannya" kataku.

"Aku saja yang ikut Pak Anam" kata Pak Lukman.

Aku, Kanaya, Anggi dan Mister Fred ikut mobil suamiku.

"Cerita dong Mbak Ganesha gimana ketemu sama suaminya?" sahut Kanaya di dalam mobil.

"Kepo!!!" Anggi yang asyik makan coklat menimpali.

"Apa ini?" tanya suamiku ketika aku memberinya kotak putih.

"Nasi dan lauk. Tersisa hanya dua box, tadi yang satu sudah kukasih ke Pak Anam" sahutku, "Oh ya nanti minta tolong bawa Mister Fred ke puskesmas ya"

"No, I'm fine" sahut Mister Fred.

Aku tahu Mister Fred memang ada fobia dengan dokter. Dulu sewaktu kecil pernah dirawat selama setahun karena sakit paru-paru yang dideritanya. Itulah kenapa dia senang berkelana di hutan, menurutnya udara di hutan alami dan bagus untuk paru-parunya.

Ah, aku mendapat banyak saudara di tur kali ini. Kulirik jam tanganku pukul 20.00 WIT. Dua setengah jam yang menyenangkan meskipun terjebak di tengah hutan.

End

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun