Mohon tunggu...
Yulwhinar Eka Saputra
Yulwhinar Eka Saputra Mohon Tunggu... Menulis fiksi untuk hidup

Perspektif periferal kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Azan di Pesisir yang Terkubur

11 Februari 2025   17:58 Diperbarui: 11 Februari 2025   17:58 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tersenyum pahit. Tentu saja aku ingat. Pohon itu adalah mercusuar alamiku saat pulang melaut. Dari jauh, daunnya yang melambai seolah menyambut kepulangan kami para nelayan. "Masih, Zan. Tepat di tempat mobil putih itu parkir sekarang."

Fauzan menghembuskan asap rokoknya ke udara. "Lucu ya, Kek. Dulu kita punya laut, sekarang cuma bisa lihat dari jauh. Dulu kita punya tanah, sekarang cuma bisa jaga mobil orang di atasnya."

Aku tidak menjawab. Dari speaker masjid, terdengar suara ustaz yang sedang memberikan kajian Duha. Suaranya lantang membicarakan tentang syukur, tentang bagaimana Allah telah memberikan rezeki berlimpah kepada penduduk kota ini. Para jamaah—kebanyakan pengusaha dan pekerja kantoran—mengangguk-angguk khusyuk.

"Alhamdulillah, kota kita semakin maju, semakin berkah," kata sang ustaz. "Lihat bagaimana Allah telah mengangkat derajat tempat ini dari kampung nelayan kecil menjadi kota modern yang membawa kesejahteraan."

Kesejahteraan untuk siapa? Pertanyaan itu menggantung di benakku, seperti awan mendung yang dulu sering kuperhatikan sebelum memutuskan apakah aman untuk melaut atau tidak.

"Zan, sudah jam berapa?"

"Setengah sembilan, Kek. Aku harus masuk kerja."

Ia bangkit, memadamkan rokoknya, lalu mencium tanganku sebelum bergegas pergi. Dari tempatku duduk, kulihat cucuku itu berjalan melewati deretan mobil mewah, menuju gedung tinggi yang menjulang di tempat dulu ada deretan perahu-perahu nelayan teronggok di pasir.

***

Siang hari di area parkir selalu sepi. Para jamaah sudah kembali ke kantornya masing-masing, meninggalkan beberapa mobil yang diparkir sampai waktu Zuhur. Aku memanfaatkan waktu ini untuk shalat Duha—ritual yang kulakukan sejak masih menjadi nelayan. Dulu, aku sering shalat Duha di surau kayu di tepi pantai, ditemani deburan ombak dan pekikan burung camar. Sekarang, yang kudengar hanya deru mesin AC dan klakson kendaraan.

Selesai shalat, aku kembali ke pos parkir. Seorang wanita muda dengan jilbab branded dan tas Hermes melenggang masuk ke area parkir. Range Rover hitamnya berhenti di dekat posku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun