Mohon tunggu...
Yulwhinar Eka Saputra
Yulwhinar Eka Saputra Mohon Tunggu... Menulis fiksi untuk hidup

Perspektif periferal kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Azan di Pesisir yang Terkubur

11 Februari 2025   17:58 Diperbarui: 11 Februari 2025   17:58 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih ingat bagaimana rasanya memandang laut tanpa penghalang. Dulu, setiap pagi, aku hanya perlu melangkah beberapa meter dari rumah bambu sederhana kami untuk mencium aroma garam yang mengambang di udara. Kini, dari tempatku duduk di pos parkir masjid ini, laut itu seperti kenangan yang makin menjauh—terhalang menara-menara apartemen yang menjulang congkak ke langit.

"Pak Khairul! Ada mobil masuk!" teriak seseorang, membangunkanku dari lamunan.

Aku bergegas bangkit, mengangkat tangan kananku yang sudah keriput untuk memberi isyarat pada sebuah BMW putih yang meluncur masuk ke area parkir. Mobil itu berhenti sejenak, kacanya yang gelap menurun perlahan, menampakkan wajah seorang pria muda dengan kumis rapih. Ia melemparkan selembar uang lima puluh ribu tanpa menoleh, lalu kaca itu kembali naik, memantulkan bayangan diriku yang tambah bungkuk setiap tahunnya.

Dulu, tangan-tangan ini menggenggam kemudi perahu dengan bangga. Sekarang, mereka hanya mengarahkan mobil-mobil mewah ke tempat parkir, mengumpulkan uang receh yang kadang dilempar dengan tatapan merendahkan. Tapi apa yang bisa kulakukan? Setidaknya pos parkir ini masih memberiku penghasilan untuk membeli nasi dan membayar kontrakan sempit di pinggir kota—jauh dari laut yang dulu adalah halaman rumahku.

Masjid Al-Barakah berdiri megah di hadapanku. Kubah emasnya berkilau ditimpa matahari siang, mengingatkanku pada sisik ikan tenggiri yang berpendar saat kutarik dari jala. Ironis memang, masjid ini dibangun tepat di atas tanah bekas rumah Pak Rahman, tetangga sekaligus sahabat melautku dulu. Sekarang, Pak Rahman sudah tidak ada. Meninggal setahun setelah "pembebasan tanah" itu terjadi. Katanya serangan jantung, tapi aku tahu, hatinya yang lebih dulu mati saat melihat buldozer menghancurkan rumah tempat ia membesarkan lima anaknya.

***

"Assalamualaikum!" 

Suara itu membuatku menoleh. Fauzan, cucuku, berjalan mendekat dengan seragam cleaning service-nya yang berwarna biru muda. Ia selalu mampir ke pos parkirku sebelum mulai shift-nya di salah satu apartemen mewah di seberang jalan.

"Waalaikumsalam, Zan. Sudah mau masuk kerja?"

Ia mengangguk, matanya menyiratkan kelelahan yang familiar—mata yang sama yang kulihat di wajah anak-anak muda kampung kami yang kini tersebar di seluruh penjuru kota ini sebagai buruh, satpam, atau tukang sapu. Fauzan duduk di kursi plastik di sebelahku, mengeluarkan sebungkus rokok murah dari sakunya.

"Kakek masih ingat dulu di sini ada pohon kelapa besar?" tanyanya sambil menyalakan rokok. "Yang sering kita panjat waktu aku kecil?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun