Mohon tunggu...
EIWJournal
EIWJournal Mohon Tunggu... Writer

Lewat EIW.journal, Enigmaticinnerworld menulis jejak sunyi: cerita random, ringan dibaca, perlahan meninggalkan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Overthinking Bukan Malas, Tapi Jeritan Sunyi Anak Muda

21 Agustus 2025   00:20 Diperbarui: 21 Agustus 2025   00:20 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernahkah kamu berbaring di kasur, lampu sudah mati, tapi kepala justru semakin gaduh? Di kesunyian kamar yang seharusnya mengantarmu ke dalam lelap, pikiran malah berpacu seperti kuda liar yang tidak bisa dijinakkan. Satu pertanyaan memicu pertanyaan lain, satu keresahan melahirkan keresahan baru, hingga jam dinding berdetak menuju tengah malam dan kamu masih terjaga - bukan karena tidak mengantuk, tapi karena kepala tidak mau diam.

Jika kamu pernah merasakan itu, selamat datang di klub tak tertulis yang anggotanya jutaan anak muda Indonesia. Klub di mana overthinking bukan lagi sekadar kebiasaan, tapi sudah menjadi ritual malam yang tak terelakkan.

Teman Tidur Generasi Milenial dan Gen Z

Bagi anak muda hari ini, overthinking seperti teman tidur yang selalu hadir tanpa diundang. Siang hari kita bisa sibuk dengan kuliah, kerja, atau aktivitas lain yang mengalihkan perhatian. Tapi begitu malam tiba, begitu keheningan merangkul, semua pikiran yang tertahan siang hari tiba-tiba meledak bersamaan.

Rina, mahasiswa semester akhir di Jakarta, sering menghabiskan jam 2-4 pagi hanya untuk memikirkan masa depannya. "Setelah lulus nanti gimana? Kerja di mana? Kalau tidak diterima di perusahaan impian bagaimana? Kalau gaji tidak cukup untuk hidup di Jakarta bagaimana?" Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya seperti kaset rusak yang tidak bisa berhenti.

Atau Bayu, fresh graduate yang baru bekerja di startup. Malam-malamnya dipenuhi dengan analisis berulang tentang performa kerjanya hari itu. "Tadi presentasiku gimana ya? Kok kayaknya boss tidak terlalu antusias. Jangan-jangan aku salah bicara. Atau mungkin ide ku kurang kreatif?" Pikiran-pikiran ini terus berputar hingga subuh, membuat tidurnya tidak nyenyak dan keesokan harinya dia bangun dengan mata panda.

Belum lagi soal percintaan. Berapa banyak anak muda yang menghabiskan malam dengan menganalisis chat dari gebetan? "Dia reply cuma 'oke' doang, artinya apa ya? Apa dia mulai bosan? Atau aku yang terlalu overthinking?" Dan ironisnya, pertanyaan "apa aku overthinking?" itu sendiri justru memicu spiral overthinking yang lebih dalam.

Cermin Zaman yang Tak Pernah Berhenti

Fenomena ini bukan kebetulan. Kita hidup di zaman di mana hening pun terasa bising. Media sosial yang tidak pernah tidur membuat kita terus-menerus terpapar informasi, perbandingan, dan tekanan sosial. Instagram penuh dengan teman-teman yang terlihat sukses, LinkedIn dipenuhi pencapaian orang lain, TikTok mengajarkan kita bahwa hidup seharusnya selalu produktif dan bermakna.

Budaya hustle yang diagung-agungkan membuat kita merasa bersalah saat tidak produktif. "Grind never stops," kata mereka. "Sleep is for the weak." Akibatnya, bahkan saat berbaring di kasur pun, pikiran kita masih bekerja overtime, menganalisis hari ini, merencanakan besok, mengkhawatirkan lusa.

Berbeda dengan generasi orang tua kita dulu. Mereka mungkin tidak mengenal istilah "overthinking," tapi mereka punya keresahan lain - mencari makan, menabung untuk membeli rumah, atau membesarkan anak. Keresahan mereka lebih konkret dan terarah. Sementara kita, generasi yang katanya punya "banyak pilihan," justru kewalahan dengan pilihan itu sendiri.

Nenek kita dulu mungkin sudah tertidur pulas jam 9 malam setelah seharian bekerja di sawah. Kita? Jam 2 pagi masih scrolling Twitter sambil memikirkan apakah pilihan jurusan kuliah dulu sudah benar, apakah karir yang dipilih sekarang sustainable, atau apakah kita sudah membuang-buang waktu.

Ketika Malam Jadi Arena Pertempuran

Dampak overthinking bukan main-main. Yang paling terasa adalah siklus tidur yang berantakan. Sulit tidur membuat kita kelelahan di siang hari. Kelelahan membuat performa menurun. Performa yang menurun membuat kita cemas. Kecemasan membuat pikiran semakin aktif di malam hari. Dan lingkaran setan itu berulang terus.

Lebih dari itu, overthinking menciptakan rasa kesepian yang paradoks. Di tengah dunia yang terhubung, kita merasa sendirian dengan pikiran kita. Padahal, jutaan anak muda lain di seluruh Indonesia - bahkan dunia - sedang mengalami hal yang sama pada waktu yang bersamaan. Kita semua berbaring di kasur masing-masing, terjaga oleh keresahan yang serupa.

Malam bukan lagi tentang istirahat, tapi tentang bertarung dengan diri sendiri. Kamar tidur berubah jadi arena di mana kita melawan monster-monster imajiner bernama "bagaimana jika," "seandainya," dan "kenapa tidak."

Yang lebih menyakitkan lagi, overthinking sering disalahpahami sebagai kemalasan atau pencarian perhatian. "Ah, kamu terlalu mikir. Santai aja." "Jangan overthinking, hidup ini simple kok." Kalimat-kalimat seperti ini, meski bermaksud menenangkan, justru membuat kita merasa tidak dipahami. Seolah-olah keresahan kita tidak valid, seolah-olah kita bisa dengan mudah mematikan tombol "off" di kepala kita.

Berdamai dengan Suara dalam Kepala

Tapi mungkin sudah saatnya kita mengubah perspektif. Overthinking bukan sekadar kebiasaan buruk yang harus dihilangkan. Dia adalah cermin dari jiwa muda yang sensitif, yang peduli, yang ingin melakukan yang terbaik dalam hidup. Dia adalah jeritan sunyi dari hati yang mencari pegangan di tengah dunia yang berubah terlalu cepat.

Generasi kita tumbuh di masa transisi yang luar biasa - dari analog ke digital, dari komunal ke individual, dari tradisional ke modern. Tidak heran jika jiwa kita sering bergolak, mencoba memahami tempatnya di dunia yang terus berubah ini.

Daripada memerangi overthinking, mungkin kita bisa belajar mendengarkannya dengan lebih bijak. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pikiran-pikiran yang berputar itu? Adakah kebutuhan yang belum terpenuhi? Adakah impian yang terpendam? Atau mungkin adakah rasa takut yang perlu kita akui dan hadapi?

Kita tidak harus menghentikan semua pikiran itu dalam semalam. Bahkan jika bisa, mungkin itu bukan ide yang baik - karena pikiran yang intens juga bisa menjadi sumber kreativitas, empati, dan inovasi. Yang kita butuhkan adalah belajar berdamai dengan kebisingan di kepala, memberinya ruang untuk bersuara, tapi tidak membiarkannya mengambil alih kendali sepenuhnya.

Mungkin kita tidak bisa menghentikan semua pikiran itu, tapi kita bisa belajar berdamai dengannya, satu malam demi satu malam. Dan siapa tahu, suatu hari nanti kita akan menyadari bahwa keresahan-keresahan itu justru adalah tanda bahwa kita masih hidup, masih peduli, masih berusaha menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun