Nenek kita dulu mungkin sudah tertidur pulas jam 9 malam setelah seharian bekerja di sawah. Kita? Jam 2 pagi masih scrolling Twitter sambil memikirkan apakah pilihan jurusan kuliah dulu sudah benar, apakah karir yang dipilih sekarang sustainable, atau apakah kita sudah membuang-buang waktu.
Ketika Malam Jadi Arena Pertempuran
Dampak overthinking bukan main-main. Yang paling terasa adalah siklus tidur yang berantakan. Sulit tidur membuat kita kelelahan di siang hari. Kelelahan membuat performa menurun. Performa yang menurun membuat kita cemas. Kecemasan membuat pikiran semakin aktif di malam hari. Dan lingkaran setan itu berulang terus.
Lebih dari itu, overthinking menciptakan rasa kesepian yang paradoks. Di tengah dunia yang terhubung, kita merasa sendirian dengan pikiran kita. Padahal, jutaan anak muda lain di seluruh Indonesia - bahkan dunia - sedang mengalami hal yang sama pada waktu yang bersamaan. Kita semua berbaring di kasur masing-masing, terjaga oleh keresahan yang serupa.
Malam bukan lagi tentang istirahat, tapi tentang bertarung dengan diri sendiri. Kamar tidur berubah jadi arena di mana kita melawan monster-monster imajiner bernama "bagaimana jika," "seandainya," dan "kenapa tidak."
Yang lebih menyakitkan lagi, overthinking sering disalahpahami sebagai kemalasan atau pencarian perhatian. "Ah, kamu terlalu mikir. Santai aja." "Jangan overthinking, hidup ini simple kok." Kalimat-kalimat seperti ini, meski bermaksud menenangkan, justru membuat kita merasa tidak dipahami. Seolah-olah keresahan kita tidak valid, seolah-olah kita bisa dengan mudah mematikan tombol "off" di kepala kita.
Berdamai dengan Suara dalam Kepala
Tapi mungkin sudah saatnya kita mengubah perspektif. Overthinking bukan sekadar kebiasaan buruk yang harus dihilangkan. Dia adalah cermin dari jiwa muda yang sensitif, yang peduli, yang ingin melakukan yang terbaik dalam hidup. Dia adalah jeritan sunyi dari hati yang mencari pegangan di tengah dunia yang berubah terlalu cepat.
Generasi kita tumbuh di masa transisi yang luar biasa - dari analog ke digital, dari komunal ke individual, dari tradisional ke modern. Tidak heran jika jiwa kita sering bergolak, mencoba memahami tempatnya di dunia yang terus berubah ini.
Daripada memerangi overthinking, mungkin kita bisa belajar mendengarkannya dengan lebih bijak. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pikiran-pikiran yang berputar itu? Adakah kebutuhan yang belum terpenuhi? Adakah impian yang terpendam? Atau mungkin adakah rasa takut yang perlu kita akui dan hadapi?
Kita tidak harus menghentikan semua pikiran itu dalam semalam. Bahkan jika bisa, mungkin itu bukan ide yang baik - karena pikiran yang intens juga bisa menjadi sumber kreativitas, empati, dan inovasi. Yang kita butuhkan adalah belajar berdamai dengan kebisingan di kepala, memberinya ruang untuk bersuara, tapi tidak membiarkannya mengambil alih kendali sepenuhnya.