Kamis, 9 September 2025, aku baru saja kehilangan seseorang yang sangat berjasa dalam hidup dan keluarga kami. Beliau memang bukan keluarga yang dekat tapi tidak pernah terasa jauh. Beliau adalah pakdeku, sosok yang selama ini menjadi panutan, guru, dan teladan tentang bagaimana hidup dengan iman dan ketulusan.Kabar itu datang sore hari. Masjid di dekat rumah mengumumkannya dengan suara yang pelan tapi menusuk hati. Rasanya seperti tidak percaya.Â
Aku dan keluarga langsung menuju rumah duka, menyaksikan sendiri wajah beliau yang kini tenang, seperti seseorang yang baru menyelesaikan perjalanan panjang. Dari shalat jenazah sampai ke pemakaman, semua berjalan khidmat. Begitu banyak orang datang. Rumah beliau tak pernah sepi sejak sore itu. Para tetangga, murid, sahabat, bahkan orang-orang yang mungkin dulu hanya sekadar lewat dalam hidupnya datang dengan wajah sedih. Mereka datang bukan karena kewajiban, tapi karena rasa hormat dan cinta. Beliau dikenal sebagai sosok yang taat dan bersahaja. Aktif di masjid, selalu menyapa dengan lembut, ringan tangan menolong siapa pun yang membutuhkan. Bahkan di masa mudanya, beliau guru di sekolah tempat aku dulu belajar. Maka tidak heran bila banyak yang datang mengantarkan beliau ke tempat terakhirnya. Saat tanah terakhir menutupi pusaranya, suasana benar-benar hening. Dalam hati aku berdoa, Ya Allah, ampunilah segala dosa dan khilafnya. Lapangkanlah kuburnya, terangi dengan cahaya kasih-Mu, dan tempatkan ia di sisi-Mu bersama orang-orang yang Engkau cintai. Selesai  itu aku pulang bersama keluarga dengan hati yang berat. Di dalam diam, pikiranku terus bertanya-tanya.
Ketika Pikiran Tentang Kematian Datang
Sejak malam itu, aku sulit tidur. Pikiranku melayang ke banyak hal. Tentang hidup, tentang mati, tentang diriku sendiri. Aku teringat bahwa usiaku kini sudah 32 tahun. Lalu aku bertanya, berapa tahun lagi aku akan hidup? Atau mungkin hanya beberapa minggu lagi? Tak ada yang tahu. Kadang aku merasa bingung, antara takut atau tidak, tapi yang jelas aku belum siap. Aku masih ingin memperbaiki diri, memperbanyak kebaikan, dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah aku lukai. Karena aku tahu, tidak jarang aku sering kali menyakiti hati seseorang, entah lewat ucapan, sikap, atau tatapan yang tanpa sadar menyinggung.
Bukan karena aku tidak peduli pada mereka yang membutuhkan, hanya saja aku sering kali belum mampu membantu seperti yang aku harapkan. Semua itu kini jadi bahan renungan yang tak pernah hilang dari kepalaku. Dan pikiranku makin jauh, membayangkan bagaimana jika yang dipanggil berikutnya adalah orang tuaku, atau adikku. Kami belum sempat membalas semua pengorbanan orang tua, belum sempat memberi mereka kebahagiaan yang sesungguhnya. Pikiran itu terasa menyesakkan dada.
Saat Ruh Dicabut dan Dunia Perlahan Menjauh
Kematian dimulai ketika malaikat Izrail datang. Tidak ada yang bisa menolak kedatangannya. Bagi orang beriman, Izrail datang dengan wajah lembut dan penuh cahaya. Ruh mereka dicabut dengan tenang, seperti air yang mengalir keluar dari gelas. Ada rasa damai yang sulit dijelaskan, seolah seluruh lelah di dunia telah selesai.
Namun bagi orang yang prilakunya buruk selama di dunia, ruhnya dicabut dengan keras. Malaikat datang dengan wajah yang menakutkan. Ruh itu memberontak, enggan keluar dari tubuhnya. Mulai dari darah yang mengalir hingga setiap urat dan sendi, terasa seperti duri yang ditarik secara paksa. Rasa sakitnya tidak terbayangkan, dan saat itu penyesalan tidak lagi berguna. Ketika ruh sudah berpisah dari jasad, dunia mulai menjauh. Orang yang meninggal masih bisa mendengar suara tangis keluarganya, melihat orang-orang datang, bahkan menyaksikan tubuhnya dimandikan dan dishalatkan. Tapi dia tak lagi bisa bicara, tak bisa menyentuh, hanya bisa melihat dalam diam sambil berharap ampunan dari Allah.
Ruh orang baik merasa tenang, karena dia tahu tubuhnya sedang dimuliakan, didoakan, dan akan dikembalikan ke tanah dengan cara yang layak. Sedangkan ruh orang jahat merasa gelisah, takut, dan menyesal, karena tahu tubuhnya akan segera dikubur bersama semua dosa yang belum sempat ia tebus.
Saat Munkar dan Nakir Datang
Ketika jenazah telah dikubur, semua orang perlahan meninggalkan makam. Suasana menjadi hening. Di situlah dua malaikat datang, Munkar dan Nakir. Mereka menegakkan amanah Allah dengan menanyai setiap ruh tentang kehidupan dunia yang telah ditinggalkan.
"Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?"
Bagi yang beriman, lidahnya dipermudah untuk menjawab. Ia mengatakan dengan yakin bahwa Tuhannya adalah Allah, agamanya Islam, dan Nabinya Muhammad. Kuburnya pun dilapangkan, diterangi cahaya, dan diperlihatkan tempatnya di surga. Ruh itu pun beristirahat dengan damai.
Namun bagi mereka yang lalai, yang tidak pernah mengenal Allah, lidahnya terasa kaku. Pertanyaan itu terasa seperti petir yang menghantam dada. Kuburnya menjadi sempit, gelap, dan dipenuhi rasa sesak. Pintu neraka diperlihatkan, dan panasnya mulai menyentuh ruhnya. Itulah awal dari alam barzakh. Masa penantian panjang sebelum datangnya hari kebangkitan. Tidak ada lagi dunia yang bisa dilihat, hanya doa dari mereka yang masih hidup yang bisa menjadi penolong.
Dari semua renungan ini aku belajar tentang dua hal penting dalam hidup: Hablum minallah dan Hablum minannas. Hablum minallah berarti hubungan kita dengan Allah, bagaimana kita menjaga ibadah, keikhlasan, dan ketaatan kepada-Nya. Sedangkan Hablum minannas adalah hubungan kita dengan sesama manusia, bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan kasih, adil, dan rendah hati. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Karena mustahil seseorang dekat dengan Allah tapi menyakiti manusia, dan mustahil pula seseorang benar-benar baik kepada manusia jika jauh dari Allah. Aku ingin terus belajar menjaga keduanya, agar ketika waktuku tiba, aku pergi dengan tenang, membawa iman yang kuat dan kenangan baik di hati orang-orang yang pernah mengenalku. Di tengah semua renungan ini, aku juga berdoa dalam hati.Â
Ya Allah, jika Engkau masih memberiku waktu, tuntunlah aku untuk memperbaiki diriku. Lembutkan hatiku agar lebih mudah memaafkan dan lebih sering bersyukur. Jadikan aku hamba-Mu yang taat kepada-Mu dan bermanfaat bagi sesama.
Dan di sela doa itu, aku juga berharap,
Ya Allah, pertemukanlah aku dengan seseorang yang bisa menuntunku bersama-sama mencari ridha-Mu. Seseorang yang dengannya aku bisa membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, dan berjodoh dengannya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Karena pada akhirnya, setiap jiwa akan kembali kepada Tuhannya. Yang tersisa hanyalah doa, amal, dan cinta yang kita tanam selama hidup. Semoga aku, keluargaku, dan siapa pun yang membaca ini, selalu diberi waktu untuk memperbaiki diri sebelum waktu itu benar-benar tiba.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI