Mohon tunggu...
Ega Ardiana
Ega Ardiana Mohon Tunggu... Masih Muda

Seringnya cerpen dan puisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kotak Kayu

23 Juni 2025   16:40 Diperbarui: 23 Juni 2025   16:40 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Taman (Sumber: pexels.com/Jan Krnc)

Kucing berlari, menuju rumah yang ada di pertigaan sana. Mengabari nona manis yang tengah berdiri di samping pot bunga dan sibuk membawa tas besarnya di tangan kiri.

"Meong,"

"Apa? Aku kan sudah memberimu makan."

"Meong,"

Nona itu ingin marah tapi tidak bisa, karena kucingnya memang lucu menggemaskan.

"Setelah ini aku akan pergi. Makananmu sudah aku siapkan, tetaplah di rumah, dan jangan membuat barang berantakan. Mengerti?!" Nona pamit dan memberi peringatan pada teman satu-satunya itu. Seakan hewan yang suka tidur itu mengerti saja, tapi memang kucing itu cukup pintar.

Nona melambaikan tangannya, pergi dengan senyuman untuk kucingnya yang ramah. Kemudian memasuki taksi berwarna putih.

Tak lama ia memasuki kota, suasana langsung berbeda. Ramai, penuh manusia, tapi mereka berjalan dengan rapi, walau dikejar kesibukan masing-masing.

"Saya turun disini saja Pak,"

"Oh, baik."

"Sudah saya transfer ya Pak,"

"Siap,"

Nona turun dari taksi dengan perasaan asing, dia memang sering ke kota, tapi di kota bagian ini dia merasa belum pernah.

"Nona." Wanita muda memanggilnya, wanita dengan blazer krem dan terlihat sangat modis.

"Zara?"

"Betul sekali, aku masih sama, hanya penampilanku yang terlihat seperti orang dewasa." Jawab wanita itu dengan percaya dirinya.

Mereka berdua menuju taman yang tak jauh dari tempat berhentinya taksi. Duduk di kursi  panjang seperti di taman-taman pada umumnya.

"Dengan gajimu yang tinggi, kau masih mau ku ajak duduk di taman sederhana ini." Nona keheranan,

"Gaji tinggi tidak sepenuhnya mengubah kepribadianku kan?" Spontan Zara, "Uang itu bisa berkurang dan aku pernah dalam keadaan yang tidak punya uang."

Nona tertawa, benar saja teman lamanya itu masih sama.

"Apa kau datang hanya untuk membandingkan kehidupan? Gajimu tinggi, hidupmu bersahaja, tinggal di rumah yang tenang, tidak perlu selalu bertemu manusia rumit."

Nona tersenyum dulu, baru ia berkata, "Sebenarnya kita sama saja, pekerjaannya saja yang berbeda."

Zara penasaran dengan tas besar yang Nona bawa, ia  berpikir harusnya sejak tadi Nona memberitahunya.

"Ini pasti benda penting, sehingga harus dilapisi setebal ini."

Tanpa banyak bicara, Nona membuka tas dan mengeluarkan benda yang dianggap penting oleh Zara. Terlihatlah kotak kayu besar bergembok warna hitam.

"Seperti benda-benda di drama yang harusnya di masukkan ke kotak tua."

"Memang drama, hidup kita banyak dramanya kita kan pemeran di dunia ini. Aku akan membukanya," Nona membuka kotak itu dengan kunci yang ia simpan di bagian tas yang lain. Berharap Zara akan menyukai dan terharu dengan benda-benda yang ia bawa.

Perlahan-lahan membuka kotak kayu yang untung saja belum renta. Awalnya kunci itu tersangkut, kotak belum terbuka. Dua wanita ini saling melihat satu sama lain. Tapi percobaan kedua ini berhasil, Nona membuka kotak itu.

Keduanya terdiam dan saling melihat lagi, hingga akhirnya Zara yang bersuara lebih dulu, "Waw, aku lebih ingin tertawa daripada menangis."

"Ya sesuai pilihanmu saja,"

"Benda-benda ketika kita masih berada di panti asuhan. Mainan ini menjadi saksi jika kita pernah bertengkar, hingga kepalanya saja pernah putus." Zara masih mengingat jelas kejadian itu.

"Tapi sekarang kita bisa membeli mainan ini sendiri,"

"Bahkan kau bisa membeli pabrik mainan ini," Tambah Zara kepada Nona,

Kotak kayu itu berisi kenangan buruk dan indah semasa mereka bedua di panti asuhan. Ada pula foto masa kecil dua wanita muda ini dengan warna baju yang senada. Yang berbeda hanyalah topi, Zara dengan topi coklatnya dan Nona dengan topi warna hitam.

Memang, Zara berkata ia lebih ingin tertawa daripada menangis, Tapi matanya tidak bisa berbohong, sedikit berkaca-kaca dan jika di pancing sedikit lagi pasti akan menangis.

"Inilah benda yang aku tunggu, tidak perlu bawa hadiah yang mahal." Ucap Zara

"Apa artinya kau tidak menungguku juga?" Nona bertanya

"Kau juga penting, jika tidak ada dirimu, tidak ada kenangan ini. Aku tidak masalah memberi hadiah mahal, tidak ada ruginya mengenalmu. Tapi hidup ini tidak cuma tentang mahal dan uang kan,"

"Jadi hadiah untukku apa?"

"Ucapan terima kasih," Lalu Zara tertawa dengan matanya yang berkaca-kaca,

"Tentu saja, sama-sama. Jika kau akan kembali bekerja bilanglah,"

"Kenapa mengingatkanku? Tapi taman ini akan ku anggap sebagai saksi masa muda kita,"

"Dan saksi sibuknya diri kita," Lanjut Nona,

Masih ada belasan menit lagi untuk mereka berbicara, mengobrol, dan meledek satu sama lain. Hingga akhirnya masing-masing taksi sudah datang menjemput. Zara membawa kotak tua dan tas besar, sementara Nona kembali dengan foto masa kecil serta perasaan lega telah menyampaikan sesuatu.

Entah do'a apa saja yang mereka minta pada Tuhan saat pertemuan hari ini. Pertemuan dua wanita dengan masa kecil di tempat yang sama. Mereka tidak sedarah, tapi perlahan-lahan seperti keluarga. Tempat berbagi berbagai perasaan dan tempat mendapat dukungan hadir kembali dalam hidup mereka yang bisa saja sepi jika takdir tak sebaik ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun