Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Padri dan Kota Dain

14 Juni 2016   15:47 Diperbarui: 15 Juni 2016   13:15 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://cequejeanfait.pagesperso-orange.fr/explication%20des%20peintures.htm

Aku berada di pemakaman, tampaknya. Warna pagi yang masuk belum terang memekat seluruh isi ruangan, bahkan redup sesaat. Aku ditatap tanpa mendengar suara yang berkesan menyapa. Aku berhenti melangkah sebagai balasan atas sambaran sinis mereka. Ada yang segera berpaling wajah. Mereka tidak memperdulikan betapa indah langit sana. 

Sambutan ini hanya pelipur lara dari mereka yang tak menyukai pagi. Di sini, kami berlima, layaknya lembaran foto yang hidup. Itu tidak berarti apa-apa. Langkahku berlanjut namun dengan perasaan risau. Malik menghampiriku. Kumis yang menutup bibir atasnya menambah tinggi aura duka untuk muka datarnya.

“Aku sudah lelah. Kalau kau berpikir untuk mengalihkannya ke tugas lain, kami sepakat,” Malik berkata itu pelan-pelan di hadapanku.

“Apa?” balasku.  

Kepalanya terangkat lebih tinggi sambil menghirup udara dalam-dalam. Aku mengerti jawabanku tidak mengenakkan dalam situasi seperti ini. Namun, aku tidak memahami.

“Kau hanya perlu memperjelasnya,” terusku.


“Rahat muak oleh pemberitaan. Lima hari ini tanpa kepastian, dia menjadi bulan-bulanan. Prasangka buruk itu pasti, itu yang selalu mengentayanginya,” ungkapnya dengan menguatkan pita suaranya. “Dia sudah terbelit.” Keheningan pecah sementara yang lain memperhatikan perbincangan.

Kami bertugas di Institusi Kepolisian Kota Dain. Inilah alasan mengapa ruang kerjaku bagai kuburan yang setiap paginya menyediakan liang lahat. Kami leluasa dalam wewenang yang diberikan untuk memburu orang-orang, mengejar mereka sampai dimana pun keberadaannya.

Dain, kota kecil ini berpenduduk sekitar 3.000 orang. Kota dengan keluguan masing-masing warganya. Sebagai contoh, seseorang menenteng seekor ayam di tengah malam. Persisnya sekitar 500 meter dari sini. Bajunya lusuh bertambah arti lagi karena bau kotoran yang melekat ke dalam kain dan badannya. Anton, salah satu anggota, melihat kemudian menegurnya. 

Memang begitu kaami bertindak, melihat ulah seseorang di tengah malam yang sunyi apalagi mirip laku pemabuk. Ayam itu tak berhenti mendesirkan suara. Orang asing ini tidak menginginkan kedatangan Anton. Lekas dia berlari sejauh dan sebisanya. Hilang dalam kegelapan. Fajar menyingsing, cerita tersebut berakhir tanpa keterangan yang jelas. Sejurus kemudian orang asing tersebut menjadi perbincangan di antara warga.

“Apa yang mereka bicarakan?” aku mengalamatkannya ke piket pagi. Aku baru sekali melangkah menuju gerbang masuk. Dia tidak mengerti persis, malah menyarankan untuk menghubungi Anton dan kulakukan. Tak ada suara balasan keluar dari ponsel, ini sudah tiga kalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun