Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tekanan Pandemi Covid-19, Bagaimana Siswa Pilih Kampus Terbaik untuk Masa Depannya?

11 Januari 2021   23:01 Diperbarui: 11 Januari 2021   23:16 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mahasiswa. (Foto: cottonbro/Pexels) 

Jelang menamatkan pendidikan SMA, murid-murid ramai menggali informasi untuk membantu pilih kampus favorit mereka. Kebetulan, adik saya yang saat ini duduk di bangku kelas 3 SMA yang ingin meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi termasuk di antaranya.

Seperti kebanyakan murid-murid lainnya, si adik sudah melabuhkan tujuannya untuk berkuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia.

Akan tetapi, di tengah pencariannya, dia berada dalam sekelumit pertanyaan yang menggunung di kepalanya. Apa yang harus dipersiapkan? Jurusan mana yang memiliki peluang kerja besar ke depannya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sama gundah gulananya sebagaimana saya alami ketika mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Kebetulan saya berhasil masuk ke Universitas Brawijaya pada 2012 melalui jalur undangan.

Di sinilah canggungnya. Tiap tahun, ada perbedaan dalam sistem penerimaan mahasiswa baru yang berlaku secara nasional.

Misalnya, jalur undangan yang saya alami, istilah ini sudah tidak dipakai lagi untuk tahun 2021. Namanya telah berganti menjadi SNMPTN 2021, yaitu seleksi masuk PTN berdasarkan hasil penelusuran prestasi akademik dan/atau portofolio calon mahasiswa.

Karena perbedaan istilah tersebut, pembicaraan saya dan adik menjadi canggung, ngalor-ngidul tidak menentu hanya untuk menyamakan definisi. Maklum, di tahun 2012, SNMPTN itu merujuk pada seleksi jalur undangan dan jalur tulis sehingga bukann perkara mudah juga mengadaptasi konsep sama meski definisi berbeda.

Si adik bersikukuh menggunakan SNMPTN, sementara saya tetap mempertahankan lidah berujar jalur undangan. Belum lagi jika orangtua memakai istilah klasih, yaitu PMDK atau Penelusuran Minat dan Kemampuan.

Sebenarnya, kecanggungan ini pernah terjadi ketika tahun 2013, istilahnya jalur undangan berganti menjadi SNMPTN dan jalur tulis dengan SBMPTN.

Pola penerimaan yang kerap berubah-ubah ini memang dilakukan untuk memantapkan penyaringan agar setiap siswa berprestasi memiliki kesempatan untuk mencicipi kampus terbaiknya.

Namun, boleh dikatakan angkatan 2012 seperti saya merasa cukup beruntung ketika berurusan dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN. Tidak pakai ribet, sederhananya.

Terlebih di tahun 2012, tidak ada sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagaimana dirasakan mahasiswa sekarang.

Sistem UKT resminya berlaku pada tahun 2013 atau setahun setelah saya diterima sebagai mahasiswa melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 55/2013. UKT itu ternyata tidak berlaku untuk mahasiswa angkatan sebelum 2013.

Sistem UKT ini menjadi tonggak bersejarah dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Sejak awal diberlakukan, ada perdebatan luas. Kompasianer Jade Z Febulla pada 2013 silam dalam tulisannya berjudul, "Ketika Hak dan Kewajiban Kalah Dengan Uang (Tragedi UKT alias Uang Kuliah Tunggal)". Dalam tulisannya, ia mengatakan mahasiswa di Malang khususnya Universitas Brawijaya angkatan 2013 merasa dibebani oleh biaya yang dibayar di depan muka selama 8 semester 4 tahun.

Berbagai formulasi terus dicari untuk memberikan rasa keadilan kepada mahasiswa kurang mampu dalam menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Besarnya biaya kuliah menjadi pertimbangan calon mahasiswa dalam pilih kampus, terlebih di masa pandemi Covid-19.

Hambatan akses keuangan
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan dampak yang sangat menekan ekonomi keluarga. Memang, ada pertimbangan bahwa biaya yang ditanggung mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Atau dalam bahasa sederhanya, seperti subsidi silang.

Namun, sejauh manakah implementasi itu berlaku efektif?

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam menggolongkan mahasiswa sebagai 'kurang mampu', timbul pula kecemburuan sosial di antara mahasiswa lainnya.

Kesan seperti itu sebenarnya diam-diam tidak terungkap, namun diam-diam akan semakin menjauhkan pemikiran besar bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

Itu adalah gambaran ideal sebelum terbangun melihat realita sekarang. Bagaimana harus memilih kampus favorit bila biaya UKT-nya pun sangat tinggi untuk dipenuhi keluarga terdampak Covid-19?

Di satu sisi, ini menjadi waktu untuk mengingat bahwa kuliah adalah jalan untuk mewujudkan tujuan bersama dalam bernegara. Di samping itu, tuntutan terbesar kepada mahasiswa adalah semangat untuk menghayati Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Pengajaran; Penelitian dan Pengembangan; dan Pengabdian kepada Masyarakat.

Dan, ini pada akhirnya perlu ditanggapi pemerintah khususnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk benar-benar mendorong sarana pembelajaran dan hasil inovasi dapat terserap ke industri, mengajak civitas akademika untuk mengadaptasi pendidikannya terhadap persoalan kesehatan publik.

Mengingat pula bahwa kuliah online ternyata berdampak besar terhadap perkembangan keilmuan mahasiswa tersebut. Sesuatu yang tidak saya temukan di tahun 2012...

Kuliah tentang Kesehatan Publik

Inilah peran yang harus didorong pemerintah bahwa pendidikan tentang kesehatan publik harus didesain di banyak kampus. Pandemi Covid-19 telah menempatkan publik dan siswa dalam pengalaman dan pengetahuan tentang pandemi Covid-19. 

Masa ini pula menyingkap pentingnya kehadiran ahli-ahli kesehatan, epidemiologi, kedokteran, dan tenaga kesehatan dalam jumlah besar untuk dapat menjangkau seluruh daerah yang terkena wabah. Inilah kegentingan Indonesia saat ini.

Siswa dapat memilih jurusannya yang berhubungan dengan penanganan masalah pandemi Covid-19. Ruang tersebut harus disediakan pemerintah kepada calon mahasiswa mengingat akses keuangan untuk menempuh pendidikan di jurusan demikian sangat terbatas bagi sebagian keluarga mahasiswa.   

Di sisi lain, kampus perlu juga memperhatikan pentingnya pengembangan karakter manusia berkebudayaan dan berseni dalam menghadapi tantangan digital dan dampak pandemi Covid-19 ke depannya. 

Tanpa itu, ke depannya kepemilikan alat dan produk teknologi yang menjadi gambaran besar di masa mendatang tidak ditanggapi secara gagap atau kaget.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun