Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Menulis Untuk Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pentingnya Investor Tambang Menjaga Kepercayaan Pemerintah

11 Januari 2022   12:44 Diperbarui: 12 Januari 2022   14:09 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi saat meresmikan smelter nikel PT GNI di Sulteng. Doc Sekretariat Presiden

Dua agenda Presiden Jokowi pada sektor pertambangan yang dilakukan dalam waktu berdekatan terkesan kontradiksi, namun sesungguhnya saling berkaitan.  

Pertama, meresmikan smelter nikel milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang terletak di Kabupaten Morowali Utara Propinsi Sulawesi Tengah akhir tahun 2021 lalu. Smelter yang diresmikan ini berkapasitas produksi 1,8 juta ton per tahun.

Kedua diawal tahun 2022, atas nama Pemerintah telah mencabut sebanyak 2.078 izin perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (Minerba), karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja.  

Saat meresmikan smelter PT GNI, Presiden Jokowi mengapresiasi pembangunan smelter. Karena akan memberikan nilai tambah yang tidak sedikit dari bijih nikel yang diolah menjadi feronikel. Nilai tambahnya bisa meningkat 14 kali.

"Jika bijih nikel diolah menjadi billet stainless steel, nilai tambahnya akan lebih tinggi lagi 19 kali lipat. Sebuah nilai yang tidak sedikit. Sekali lagi, saya mendukung penghentian ekspor nikel dalam bentuk mentah, dan mendorong hilirisasi industri di dalam negeri," kata Jokowi.

Sementara saat mencabut izin perusahaan pertambangan Jokowi menegaskan, Pemerintah terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar ada pemerataan, transparan dan adil. Tujuannya untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan alam.

"Evaluasi menyeluruh terus dilakukan terhadap Izin-izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan lahan negara," kata Presiden Jokowi sebagaimana dilansir media massa.

Ketika meresmikan smelter nikel, Presiden Jokowi menyampaikan dampak signifikan dari sektor pertambangan khususnya tambang nikel. Namun saat mencabut izin tambang Jokowi membeberkan realitas keberadaan perusahaan tambang yang tidak punya rencana kerja. Tindak tanggung tanggung 2000an jumlahnya.

Sebagaimana dilansir Kompas.com mengutip Keterangan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, merincikan dari total izin usaha yang dicabut, 1.776 di antaranya merupakan perusahaan pertambangan mineral. Termasuk mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan.

Adapun luas wilayah dari izin yang disita tersebut 2.236.259 hektare (ha) yang tersebar di 18 provinsi. Meliputi Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Padahal kehadiran investor tambang  yang ada di daerah, diharapkan tidak sekedar memberikan kontribusi pendapatan buat negara dan daerah semata. Namun juga memberikan peluang kesempatan kerja dan pemberdayaan buat masyarakat. Serta tetap menjaga kelestarian alam dan kearifan lokal.

Presiden Jokowi saat mengumumkan pencabutan izin perusahaan tambang. Doc Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi saat mengumumkan pencabutan izin perusahaan tambang. Doc Sekretariat Presiden

Soal kontribusi bagi negara dan daerah sangat jelas tertuang dalam Undang Undang  (UU) No 3 Tahun 2020 perubahan atas UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).  

Dimana menyebutkan bahwa, Pertambangan Minerba memiliki peran penting dan memenuhi hajat hidup orang banyak. Serta mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.

Sebagai contoh berdasarkan data dari Dinas Penanaman modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Propinsi Sulawesi Tengah, total investasi yang masuk ke Sulteng di tahun 2020 mencapai Rp 31 triliun. Besaran investasi tersebut melebihi dari target yang ditetapkan yakni Rp 24 triliun. Dimana investasi sektor pertambangan memberikan kontribusi terbesar.

Realitas dicabutnya izin perusahaan tambang yang bermasalah, merupakan fakta atas hilangnya kepercayaan Pemerintah terhadap sejumlah investor tambang yang hanya ingin mengeruk sumber daya alam, namun mengabaikan kewajibannya. Termasuk mengabaikan aspek kesejahteraan rakyat sekitar serta menjaga kelestarian alam dan lingkungan.

Dalam UU Minerba pasal 6, memang mengatur soal kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Minerba. Yakni menerbitkan perizinan berusaha serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan  yang dilakukan oleh pemegang perizinan berusaha.

Sementara terkait pencabutan izin berusaha termuat dalam pasal 151 yang menyebutkan, Menteri berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang  izin atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku. Dimana sanksi administratif salah satunya berupa pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan.

Adapun soal rencana kerja yang wajib dimiliki perusahaan tambang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 7 tahun 2020 pasal 62. Dimana menyebutkan bahwa pemegang IUP atau IUPK wajib menyusun dan menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Tahunan kepada Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Bukan itu saja, dari aspek pemberdayaan masyarakat bagi pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), harus menyusun, melaksanakan, dan menyampaikan laporan pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

Sementara dari aspek kelestarian lingkungan, pemegang izin harus mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan. Menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah serta menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air.

Secara normatif, jika Pemerintah mencabut izin pertambangan minerba karena tidak memiliki laporan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahunan, sudah pasti perusahaan tersebut juga tidak punya laporan pengembangan masyarakat serta laporan terhadap jaminan kelestarian alam dan lingkungan.

Sampai disini bisa disimpulkan bahwa investor tambang yang dicabut izin usahanya, karena tidak mampu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah. Padahal banyak investor tambang lain yang berminat berinvestasi di daerah, namun terkendala perizinan serta lahan yang belum clear and clean.

Karena bagaimanapun juga Pemerintah  punya tanggung jawab dalam melakukan pembinaan  ataspelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukanoleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagaimana disebut pasal 139 UU Minerba. Serta melakukan fungsi pengawasan pelaksanaan kegiatan sebagaimana pasal 140.

Karena disebutkan dalam pasal 65 UU Minerba, bahwa setiap Badan Usaha, Koperasi, atau Perusahaan Perseorangan yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.

Sebetulnya bagi investor atau perusahaan  yang sudah memiliki izin dan melaksanakan aktivitas pertambangan, selayaknya mematuhi dan melaksanakan tiga aspek agar terhindar dari terkena sanksi Aspek tersebut yakni pertama, kontribusi pendapatan buat negara dan daerah. Kedua, pemberdayaan masyarakat serta ketiga menjaga kelestarian lingkungan.

Konflik soal sektor pertambangan sebenarnya berkutat di tiga aspek ini. Bahkan terkadang berlarut larut dan tidak menemukan solusi terbaik. Kasus tersebut nyaris terjadi dihampir semua daerah di Indonesia termasuk juga di Sulawesi Tengah.

Bahkan untuk Sulawesi Tengah sendiri aspek kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan lebih dominan. Aspek ini telah berdampak nyata bagi degradasi lingkungan dan kehidupan masyarakat, karena pengabaian terhadap aturan sebagaimana termuat dalam UU Minerba.

Pertama aspek kontribusi buat negara dan daerah. Hal ini diatur dalan Pasal 128 UU Minerba. Bahwa bagi pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan Negara terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.

Penerimaan pajak terdiri atas, pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat serta bea dan cukai sesuai dengan ketentuan perundang undangan. Sementara penerimaan negara bukan pajak, terdiri atas iuran tetap, iuran produksi, kompensasi data informasi dan penerimaan negara bukan pajak lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan.

Adapun Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud terdiri atas:pajak daerah; retribusi daerah; iuran pertambangan rakyat; dan lain lain pendapatan daerah yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan.

Dengan skema ini, maka keberadaan investasi Pertambangan Minerba yang ada disebuah daerah termasuk Sulawesi Tengah seharusnya memberikan dampak kemajuan. Itulah sebabnya mengapa Pemerintah menghendaki investor tambang memiliki  rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahunan, agar dikelola secara profesional, akuntabel dan bertanggung jawab.

Kedua aspek pemberdayaan masyarakat. Dalam UU Minerba pasal 108menyebutkan, Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Juga wajib mengalokasikan dana untuk pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang besaran minimumnya ditetapkan oleh Menteri.

Jika kewajiban ini laksanakan dengan baik oleh investor tambang, maka konflik dengan masyarakat lingkar tambang di daerah bisa diminalisir. Di satu sisi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan dimaksimalkan untuk pemberdayaan masyarakat sesuai peruntukkannya.

Disisi lain rekruitmen tenaga kerja lokal dilakukan perusahaan agar masyarakat bisa diberdayakan. Bukankah hakekat hadirnya investasi tambang untuk membuka lapangan kerja di daerah. Kehadiran tenaga kerja Asing (TKA) tetap diperlukan untuk transformasi teknologi. Namun porsi tenaga kerja lokal harus diutamakan, sebagai pilar pendukung perekonomian nasional.

Ketiga aspek pelestarian lingkungan. Telah disebutkan perusahaan tambang wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah. Namun realitasnya masih dominan yang tidak mematuhi., Inilah yang seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat lingkar tambang yang menuntut kompensasi atas dampak yang ditimbulkan.

Soal reaksi masyarakat telah termuat dalam pasal 145 UU Minerba. Dimana menyebutkan masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan Usaha Pertambangan, berhak memperoleh ganti rugi yang layak. Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.

Pada akhirnya tindakan tegas Pemerintah mencabut izin perusahaan pertambangan yang lalai terhadap aturan, menjadi warning bagi investor tambang agar lebih profesional dan bertanggung jawab dalam setiap kegiatan pertambangan. Tujuannya agar investasi tambang  di daerah tidak menimbulkan masalah, karena sanksinya sudah jelas.

Sebagaimana kata Presiden Jokowi, bahwa Indonesia terbuka bagi para investor. Namun harus disertai dengan rekam jejak dan reputasi yang baik. Serta memiliki komitmen untuk ikut menyejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam.

Sudah saatnya kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada investor tambang  untuk mengelola sumber daya alam, harus dijaga sebaik baiknya dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemasyalahatan masyarakat, bangsa dan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun