"Lu kudu' belajar. Ilmu itu berserakan di muka bumi. Sekalipun itu jauh, di negeri China, nggak salah didatengin," KH Toha memberi nasihat kepada para santrinya seuisai shalat Magrib di Masjid Al Makmur.
Di negeri ini, lanjut KH Toha, orang Islam kalo ketemu orang yang beda agama kadang-kadang kaya' musuh. Di muka baek-baek, di belakang ngintip sambil melempar fitnah. Â Padahal, dia juga manusia. Sama dengan semua orang. Sama juga dengan orang Belanda yang pernah menjajah negeri ini. Penjajah juga manusia yang punya syahwat, nafsu birahi kaya' binatang.
Penjajah bercokol di negeri ini cukup lama. Banyak orang dari berbagai bangsa  datang ke negeri ini, ada yang awalnya berdagang, berbetani dan juga ada di antaranya ikut memerangi penjajah Belanda dan Jepang. Bahkan ada di antara ikut menyebarkan Islam.
"Lu pade, kudu' tahu itu. Nah, kenape lu pade benciin orang-orang itu. Lu jangan cuma bisa iri doang kalo orang itu maju usahanya?" tanya KH Toha dengan dialek Betawi.
KH Toha adalah satu di antara pemuka agama disegani di Kampung Muara, pinggiran kota Jakarta. Banyak kalangan birokrat, tentara dan jajaran kepolisian mendatangi kediamannya untuk bersilaturahim. Sekaligus juga minta nasihat atas berbagai hal yang tengah terjadi di masyarakat. Sang kiai ini hidup seolah menjadi matahari bagi sesama dengan memandang siapa pun yang datang mendapat perlakuan sama.
Bukan itu saja. KH Toha kadang dimintai pendapatnya oleh para ulama dari daerah lainnya. Mereka memandang Toha adalah sumber ilmu sekaligus mencerahkan, sumber solusi, karena setiap menyampaikan pesan disertai argumentasi yang mudah dicerna. Sekaligus juga dikuatkan dengan ayat-ayat Alquran, sehingga -- bagi siapa pun -- akan menerima penjelasannya sebagai panduan dalam menyelesaikan persoalan.
Karena itu, kala menyaksikan para santrinya betantang-benteteng dan kadang mengeluarkan kalimat beraroma sesumbar, KH Toha cepat-cepat menegurnya. Bila dibiarkan, kelakuannya ke depan berpotensi tambah urakan.
"Baru bisa baca ayat sepotong, sudah merasa besar kepala. Apa lagi kalo hafal lima potong ayat dan jadi amalan sehari-hari, Â kepribadian diri tak seimbang. Kaya' kapal oleng di lautan, melaju ke tempat tujuan jadi ngelantur," KH Toha mengingatkan santrinya.
"Siapa yang merasa diri paling pintar, paling jago maen pukulan, paling hebat ilmu kebalnya?" KH Toha bertanya kepada para santrinya dengan nada tinggi.
"Maju ke depan?" KH Toha membentak.
Tak satu pun para santrinya menjawab. Semua duduk bersila dengan kepala tertunduk. Jangankan memberi jawaban, mengangkat kepala saja tak berani. Beruntung di antara santri itu tak ada yang terkencing.