Psikolog klinis Dr. Ramani Durvasula menyebut gaslighting sebagai "silent epidemic." Dalam wawancaranya dengan Psychology Today (2023), ia mengatakan bahwa gaslighting adalah bentuk kekerasan yang paling sulit dikenali karena tidak meninggalkan bekas fisik. Tapi luka batinnya bisa jauh lebih dalam.
Ketika Anda Kena Gaslighting?Â
Tanda-tandanya antara lain: merasa selalu salah, takut mengungkapkan perasaan, dan sering meminta maaf tanpa alasan jelas. Jika Anda merasa realitas Anda terus-menerus dipertanyakan, itu bisa jadi sinyal bahaya.
Langkah pertama adalah validasi diri. Percayalah pada intuisi Anda. Jika sesuatu terasa salah, kemungkinan besar memang ada yang tidak beres. Jangan biarkan orang lain mendefinisikan pengalaman Anda.
Langkah kedua adalah dokumentasi. Catat kejadian-kejadian yang membuat Anda merasa bingung atau direndahkan. Ini bukan untuk membalas, tapi untuk memperjelas pola yang mungkin selama ini tersembunyi.
Langkah ketiga: cari dukungan. Bicaralah dengan teman yang bisa dipercaya, atau konsultasikan dengan profesional. Menurut data dari Mental Health America (2024), korban gaslighting yang mendapatkan dukungan sosial memiliki peluang pemulihan 3 kali lebih tinggi dibanding yang tidak.
Gaslighting bukan hanya soal hubungan personal. Ia bisa terjadi di tempat kerja, dalam keluarga, bahkan dalam interaksi sosial. Ketika seseorang menggunakan kekuasaan atau kedekatan untuk mengaburkan kenyataan, itulah gaslighting.
Dalam konteks budaya Indonesia, gaslighting sering dibungkus dengan norma kesopanan. "Jangan lebay," atau "Kamu harus nurut sama orang tua," bisa menjadi bentuk penyangkalan terhadap pengalaman emosional yang valid. Ini membuat korban merasa bersalah karena berani merasa.
Kita perlu membongkar narasi ini. Emosi bukanlah kelemahan. Merasa sakit bukanlah tanda ketidakpatuhan. Dan mempertanyakan perlakuan orang lain bukanlah bentuk pembangkangan.
Gaslighting adalah bentuk kekerasan yang merampas hak seseorang untuk merasa dan berpikir. Ia menciptakan dunia di mana pelaku adalah satu-satunya sumber kebenaran. Dan korban, perlahan, kehilangan dirinya sendiri.
Namun, ada harapan. Semakin banyak orang yang berani bicara, semakin terang jalan keluar dari kabut manipulasi. Kampanye #BelieveYourself yang digagas oleh komunitas psikologi di Indonesia tahun ini adalah bukti bahwa kesadaran mulai tumbuh.