Gaslighting bukan sekadar manipulasi psikologis. Ia adalah seni kelam membuat seseorang meragukan kenyataan yang mereka alami sendiri. Dan yang paling menyakitkan: pelakunya bisa jadi orang yang kita cintai.
Dalam hubungan personal, gaslighting sering datang dalam bentuk yang halus. "Kamu terlalu sensitif," atau "Itu cuma di kepalamu," adalah kalimat-kalimat yang meruntuhkan kepercayaan diri. Ketika diucapkan berulang kali, mereka menjadi racun yang merusak persepsi dan harga diri.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di ruang privat. Dalam Debat Cawapres Pemilu 2024, istilah "gaslighting" muncul sebagai sorotan publik ketika salah satu kandidat dinilai meremehkan pertanyaan lawan dengan gaya elegan namun manipulatif. Dosen Sosiologi Universitas Widya Mataram, Dr. Mukhijab, menyebutnya sebagai "disconfirmation"---strategi komunikasi yang mengabaikan eksistensi lawan bicara.
Gaslighting juga menjadi sorotan internasional. Dalam laporan Middle Georgia State University (2023), gaslighting didefinisikan sebagai teknik manipulasi yang membuat korban meragukan realitasnya sendiri. Ketika pelaku adalah figur publik, dampaknya bisa sistemik dan meluas.
Salah satu contoh paling mencolok adalah mantan Presiden AS Donald Trump. Banyak pendukung Trump tetap percaya pada narasi yang telah direkayasa, meski bukti ilmiah menunjukkan dampak negatif dari kebijakannya. Ini adalah gaslighting dalam skala politik.
Namun, kembali ke ranah personal, gaslighting bisa menghancurkan secara perlahan. Menurut American Psychological Association (APA), korban gaslighting cenderung mengalami depresi, kecemasan, dan bahkan gangguan identitas. Dalam studi "Gaslighting and Emotional Abuse" oleh Dr. Paige Sweet (University of Michigan, 2022), ditemukan bahwa 78% korban gaslighting membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi.
Lebih mengejutkan lagi, laporan dari National Domestic Violence Hotline (2024) menunjukkan bahwa 60% korban kekerasan emosional tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami gaslighting. Mereka menganggapnya sebagai dinamika hubungan yang "normal".
Gaslighting sering dimulai dari hal kecil. Seorang pasangan yang selalu menyalahkan, seorang teman yang meremehkan perasaan, atau orang tua yang menolak pengalaman anaknya. Lama-lama, korban mulai mempertanyakan ingatan, intuisi, bahkan kewarasan mereka sendiri.
Dalam hubungan romantis, gaslighting bisa menjadi senjata untuk mengontrol. "Aku marah karena kamu bikin aku seperti ini," adalah bentuk pembalikan tanggung jawab. Korban merasa bersalah atas emosi pelaku, padahal mereka hanya bereaksi terhadap perlakuan yang tidak adil.
Salah satu kisah yang viral di TikTok tahun ini adalah tentang seorang perempuan muda yang merekam interaksinya dengan pasangannya. Dalam video itu, sang pasangan terus-menerus menyangkal kejadian yang baru saja terjadi. Komentar netizen membanjiri dengan kalimat: "Ini textbook gaslighting."