Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Sudahkah Anak Merasa Dipahami Lewat Pujian Anda?

16 September 2025   08:01 Diperbarui: 16 September 2025   13:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memuji anak itu penting, tapi jangan sampai salah. (Sumber: Freepik via Kompas.com)

"Memuji bukanlah tentang melontarkan kata-kata manis. Ia adalah seni mengenali, memahami, dan berkomunikasi dengan nada jiwa seorang anak."

Dunia berputar semakin cepat. Di tengah pusaran tren TikTok yang menuntut setiap remaja memiliki "main character energy", ekspektasi untuk tampil sempurna terasa begitu menyesakkan. Setiap unggahan adalah panggung. Setiap komentar adalah validasi. Fenomena ini, yang berakar pada budaya pop, tanpa sadar merembes ke ruang paling privat kita: rumah.

Kita, sebagai orang tua, terjebak dalam dilema yang sama. Kita ingin anak-anak kita bersinar, menjadi karakter utama dalam kisah hidup mereka. Maka, kita hujani mereka dengan pujian, berharap itu menjadi bahan bakar roket mereka menuju bintang. Namun, seringkali kita lupa satu hal krusial. Tidak semua bahan bakar cocok untuk setiap mesin.

Gema Pujian di Era Echo Chamber

Pujian telah menjadi komoditas. Ia diburu di jagat maya dan didamba di dunia nyata, menciptakan sebuah echo chamber atau ruang gema di mana anak-anak hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. 

Kondisi ini diperparah oleh tekanan sosial tanpa henti, sebuah realitas yang bahkan disorot oleh figur publik seperti aktris dan pegiat pendidikan, Maudy Ayunda, dalam sebuah siniar (podcast) sebulan terakhir. Ia menyinggung betapa krusialnya membangun resiliensi internal pada anak, bukan sekadar memoles fasad eksternal mereka dengan sanjungan. Niat kita baik.

Perhatikan kisah Bima, seorang siswa SD yang selalu menjadi bintang kelas. Sejak kecil, ia terbiasa mendengar kalimat sakti dari orang tuanya: "Bima memang anak pintar!" Pujian itu terasa manis. Bima percaya bahwa kepintaran adalah takdirnya, sesuatu yang melekat begitu saja pada dirinya. Ia tak perlu berusaha keras untuk mendapat nilai 100. Semuanya terasa mudah.

Namun, petaka datang saat ia mengikuti olimpiade matematika tingkat provinsi. Soal-soalnya jauh lebih sulit. Untuk pertama kalinya, Bima tidak tahu jawabannya. Ia panik, keringat dingin membasahi keningnya, dan ia menyerah di tengah jalan. 

Akibat fatal dari pujian "kamu pintar" adalah rapuhnya mental Bima. Ketika takdir "pintar"-nya diuji oleh tantangan nyata, seluruh bangunan kepercayaan dirinya runtuh seketika. Ia tidak pernah diajari untuk menghargai proses dan kegigihan.

Kisah Bima adalah cerminan dari apa yang ditemukan praktisi Edy Suhardono setelah melayani lebih dari 16 ribu klien melalui IISA Assessment Consultancy & Research Centre. Dalam karyanya, Kecerdasan Jamak: Keberagaman dan Inklusivitasnya, Suhardono (2025) menegaskan bahwa pujian yang salah alamat dapat membelokkan potensi sejati seorang anak. Ia mengadvokasikan istilah "Kecerdasan Jamak" karena kata "jamak" memiliki makna yang lebih luas dan inklusif, merepresentasikan keberagaman kecerdasan manusia yang sesungguhnya.

Membaca Peta Kecerdasan Anak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun