Pada 23 Juli 2025, dalam peringatan Hari Anak Nasional, Save the Children Indonesia merilis data mencengangkan: 15.615 kasus kekerasan terhadap anak tercatat hingga pertengahan tahun, mayoritas terjadi di lingkungan rumah tangga dan ruang digital. Ironisnya, tempat yang selama ini diyakini sebagai zona perlindungan justru menjadi ladang luka yang tak terlihat.
Anak-anak yang tumbuh dalam bayang kenyamanan urban ternyata tak selalu mengenal dunia luar---mereka dibesarkan dalam ruang steril, tapi tak dibekali daya tahan menghadapi realitas. Di sinilah paradoks kepahlawanan urban muncul: orang tua yang ingin melindungi, tapi tanpa sadar mencabut anak dari dunia tempat mereka seharusnya belajar berdiri.
Setiap pagi, ribuan orang tua memadati gerbang sekolah, menjelma menjadi pelindung anak-anak mereka dari kerasnya dunia luar. Terik matahari, debu jalanan, dan keruwetan transportasi publik menjadi alasan utama mereka mengantar anak dengan kendaraan pribadi. Namun di balik kemacetan yang mereka ciptakan, tersembunyi narasi yang lebih dalam---tentang luka masa lalu, proyeksi psikologis, dan krisis pengasuhan kolektif.
Fenomena ini bukan sekadar soal lalu lintas. Ia adalah cermin dari generasi yang sedang berusaha menebus masa kecilnya yang penuh keterbatasan. Orang tua yang dahulu berjalan kaki dan terbiasa dengan lelah kini ingin memastikan anak-anak mereka tak perlu mengalami hal serupa. Mereka ingin menjadi pahlawan yang menyelamatkan anak dari monster urban yang dulu mereka hadapi sendiri.
Namun, dalam drama kepahlawanan ini, tersembunyi paradoks: tindakan perlindungan yang berlebihan justru melucuti daya juang anak-anak. Mereka tumbuh dalam kenyamanan, tetapi rapuh menghadapi tantangan. Mereka cerdas secara digital, namun asing terhadap realitas sosial yang membentuk empati dan ketangguhan.
Luka Lama dan Pola Asuh Baru
Kisah ini bermula bukan dari deru kendaraan, melainkan dari jejak masa kecil para orang tua. Mereka adalah generasi yang ditempa oleh keterbatasan, yang akrab dengan lelah dan kesabaran. Pengalaman itu membentuk kekuatan, tetapi juga meninggalkan luka emosional yang belum sembuh. Kini, saat mereka menatap anak-anak mereka, mereka melihat bayangan diri sendiri yang ingin mereka selamatkan.
Sigmund Freud (1923) menyebut mekanisme ini sebagai proyeksi: memindahkan konflik batin ke luar diri. Orang tua memproyeksikan penderitaan masa lalu ke anak-anak mereka, dan tindakan mengantar dengan mobil mewah atau memastikan anak tak berkeringat menjadi bentuk penebusan. Pola merupakan defensive parenting---pengasuhan yang lahir dari kecemasan orang tua, bukan kebutuhan anak.
John Bowlby (1988), melalui teori kelekatan (attachment), menjelaskan bahwa orang tua dengan kelekatan tidak aman cenderung hadir secara berlebihan. Penelitian oleh Sroufe et al. (2005) menunjukkan bahwa pola ini dapat menghambat perkembangan kemandirian anak. Luthar & Zelazo (2003) menambahkan bahwa anak yang dibesarkan dalam lingkungan overprotective cenderung memiliki resiliensi rendah dan mudah stres.
Masud Hoghughi (2004) menekankan pentingnya keseimbangan antara perlindungan dan pemberian tanggung jawab. Perlindungan tanpa tanggung jawab menghasilkan individu yang tidak mandiri. UNICEF dan Bappenas (2018) juga mencatat bahwa keterlibatan orang tua yang terlalu dominan dapat menghambat perkembangan eksekutif anak, terutama dalam hal pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.