Bayangkan perkembangan psikis anak sebagai sebuah kapal. Pada awalnya, kapal ini berlayar di samudra luas relasi primordial dengan ibu, sebuah dunia fantasi yang serba mungkin dan tanpa batas. "Nama-Ayah" berfungsi sebagai jangkar yang dilemparkan ke dasar realitas. Jangkar inilah yang menghentikan kapal dari keterombang-ambingan tak berujung, memberinya posisi, dan mengenalkannya pada batasan---bahwa tidak semua hal bisa dimiliki.
Ketika jangkar ini tidak ada, kapal psikis individu akan terus hanyut, terombang-ambing oleh badai hasrat dan ketidakpastian. Individu ini akan selamanya mencari "pelabuhan" atau "jangkar" eksternal pada orang lain, sebuah pencarian yang melelahkan dan seringkali sia-sia.
Inilah yang menjelaskan temuan riset DelPriore (2016). Perilaku mencari pasangan secara kompulsif atau ketidakpercayaan yang ekstrem adalah cerminan dari "kapal" yang tidak memiliki jangkar internal. Lacan menyebut kondisi ini sebagai akibat dari lahirnya subjek yang terbelah (split subject). Identitasnya dibangun di atas sebuah kekosongan fundamental.
Analogi sederhananya adalah membangun sebuah gedung di atas fondasi yang retak. Sekuat apa pun struktur di atasnya dibangun, ia akan selalu rapuh dan rentan runtuh. Rasa tidak cukup dan harga diri rendah yang ditemukan dalam riset Amato (2001) adalah getaran dari fondasi yang goyah ini.
Konstruksi Ayah: Membongkar Mitos di Panggung Budaya
Jika Lacan menjelaskan bagaimana luka itu bekerja, psikologi pascamodern mempertanyakan mengapa "jangkar" itu begitu sering gagal diturunkan dalam konteks masyarakat modern, termasuk Indonesia. Perspektif ini berargumen bahwa peran ayah bukanlah sesuatu yang alami atau universal, melainkan sebuah konstruksi sosial yang dibentuk oleh narasi budaya.
Sejarawan keluarga seperti John Gillis dalam bukunya "A World of Their Own Making: Myth, Ritual, and the Quest for Family Values" (1996) menunjukkan bagaimana citra ayah sebagai "pencari nafkah" yang jauh secara emosional adalah produk dari era industrialisasi, bukan sebuah takdir biologis.
Dalam konteks Indonesia, narasi budaya ini sangat kuat. Ayah diposisikan di atas panggung sebagai penyedia finansial, sementara naskah untuk peran emosional, pengasuhan, dan validasi psikologis hampir seluruhnya diberikan kepada ibu. Akibatnya, banyak ayah yang secara tulus mencintai keluarganya namun tidak memiliki "naskah" atau contoh peran untuk hadir secara emosional. Masyarakat tidak memberinya izin atau bahkan perangkat untuk melakukannya.
Di sinilah letak pentingnya dekonstruksi, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh filsuf Jacques Derrida. Kita perlu membongkar mitos bahwa menjadi ayah yang "baik" cukup dengan memenuhi kebutuhan materi.
Analogi yang tepat adalah seorang sutradara teater yang menyadari bahwa salah satu aktor utamanya hanya diberi satu baris dialog sepanjang pertunjukan. Untuk membuat pertunjukan itu utuh dan bermakna, sang sutradara harus menulis ulang naskahnya, memberikan peran yang lebih kaya dan mendalam kepada aktor tersebut.
Demikian pula, masyarakat harus secara kolektif "menulis ulang" naskah peran ayah, dari sekadar penyedia menjadi figur yang hadir seutuhnya. "Daddy issues" bukanlah kegagalan personal seorang anak perempuan, melainkan kegagalan sebuah naskah budaya yang kita semua turut melestarikannya.