Meja makan seharusnya menjadi altar sakral sebuah keluarga, sebuah panggung teater di mana drama keseharian---canda, keluh kesah, dan cerita---dipentaskan dengan hangat. Dulu, simfoni yang terdengar adalah denting sendok bertemu piring, derit kursi yang diduduki, dan riuh tawa yang pecah.
Kini, simfoni itu telah digantikan oleh keheningan ganjil yang hanya diselingi oleh nada dering notifikasi dan ketukan jari di atas layar kaca. Altar itu retak, cahayanya yang temaram kini diredupkan oleh pendar biru dari gawai di genggaman masing-masing.
Perintah seorang ibu, "Simpan dulu HP-nya, Nak," yang seharusnya menjadi titah absolut di era lampau, kini hanya menjadi kebisingan latar. Ia adalah gema dari masa lalu yang kalah bersaing dengan daya pikat dunia virtual.
Kegagalan membangun aturan makan bersama bukanlah sekadar persoalan disiplin anak di zaman digital; ini adalah cermin dari runtuhnya model kekuasaan orang tua yang usang dan tak lagi relevan di hadapan realitas baru.
Kita tidak sedang menghadapi generasi pembangkang, melainkan sedang menyaksikan sebuah krisis legitimasi yang terjadi di ruang paling intim sebuah keluarga. Kita mencoba menerapkan hukum dari zaman analog ke dalam dunia yang sepenuhnya digital, dan hasilnya adalah kekalahan telak.
"Ayah Juga Main HP, Kok!"
Bayangkan sebuah adegan yang begitu lazim. Seorang ibu, setelah lelah bekerja dan memasak, menata hidangan di meja dengan harapan akan sebuah percakapan hangat. Namun, harapannya pupus. Anaknya yang remaja duduk di seberangnya, tetapi jiwanya melayang di dunia lain, matanya terpaku pada layar ponsel.
Dengan sisa kesabarannya, sang ibu berkata, "Sayang, makan dulu. HP-nya ditaruh." Hening sejenak, sebelum sang anak, tanpa mengalihkan pandangan, membalas dengan satu kalimat pamungkas yang melumpuhkan: "Ayah juga main HP, kok!"
Seketika, kekuasaan sang ibu menguap seperti uap panas dari nasi. Argumennya patah bukan karena dibantah dengan logika, melainkan karena hipokrisi yang telanjang dipertontonkan oleh pasangannya sendiri. Inilah premis fundamental kegagalan kita: kita menuntut ketaatan yang dilandaskan pada model keluarga ante-digital.
Di era itu, kewibawaan orang tua bersifat nyaris absolut, ditopang oleh struktur sosial dan akses informasi yang terbatas bagi anak. Perkataan orang tua adalah hukum. Kini, anak-anak kita adalah digital native yang bisa memverifikasi ucapan kita dalam hitungan detik. Mereka melihat model keluarga lain di media sosial, mereka tahu argumen tandingan, dan mereka sangat peka terhadap inkonsistensi.