Mohon tunggu...
Edward Simanungkalit
Edward Simanungkalit Mohon Tunggu... -

Selama ini terus belajar menulis yang dimulai sejak tahun 1993 hingga sekarang. Belakangan belajar menulis buku dan telah berhasil menulis buku: "ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula" (2015). Aktivitas menulis ini didasari satu keyakinan bahwa "kebenaran itu memerdekakan". Ternyata belajar itu tak ada hentinya, karena belajar di Sekolah Kehidupan tak ada habis-habisnya. All Truth is God's Truth.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membayangkan Pakpak sebagai Etnis Tersendiri: Sebuah Renungan

21 Desember 2015   00:16 Diperbarui: 22 Maret 2016   12:31 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mejan Pakpak (Sumber: http://nga.gov.au/Exhibition/LIFEDEATHMAGIC/"][/caption] Oleh: Edward Simanungkalit *

Setelah melihat di beberapa grup marga Facebook pada kalangan Orang Pakpak, maka terlihat adanya perbedaan-perbedaan dan tarik-menarik dalam diskusinya di antara satu marga.  Hal ini ditambah lagi informasi melalui pembicaraan dengan saudara-saudara dari kalangan Pakpak sendiri mengenai adanya polarisasi di kalangan marga-marga Pakpak. Tanpa menyebut marga, maka ada sebagian marga A mengatakan bahwa mereka masuk marga QV dari Toba dan ada sebagian lagi dari marga A tersebut mengatakan mereka masuk marga QW dari Toba, sehingga marga A ini menjadi dua kelompok yang tarik-menarik. Sebagian lagi ada marga B, C, dan D dari Pakpak yang bersaudara seayah, tetapi kemudian marga B dikatakan masuk marga X dari Toba, marga C dikatakan masuk marga Y dari Toba, dan marga D dikatakan masuk marga Z dari Toba. Kemudian marga X, Y, dan Z dari Toba inipun bukan satu rumpun, sehingga semakin besarlah jarak di antara marga B, C, dan D dari Pakpak tadi atau menjadi tidak bersaudara lagi kalau mengikuti marga-marga Toba tadi.

Lewat sedikit gambaran ini, maka jelas bahwa suara yang mengatakan: “Marga ini masuk marga sana.” telah membuat tarik-menarik di antara marga-marga Pakpak dan hal ini menimbulkan polarisasi bagi etnis Pakpak secara keseluruhan. Tentu hal ini tidak menguntungkan bagi orang Pakpak dan jelas-jelas merugikan bagi kesatuan etnis Pakpak sebagai sebuah etnis yang mandiri. Untuk itu perlu melihat dari mana permasalahan itu bermula dan bila merunut ke belakang, maka ada sebuah buku yang didesain oleh Belanda yang menimbulkan permasalahan tadi bagai duri dalam daging.

PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak

Sambutan buku ini diawali bertahun 1913 dan terakhir tahun 1926. Jadi, buku tersebut  dipersiapkan lebih dari 13 tahun. Tentulah buku ini sudah dipersiapkan sebelum tahun 1913 mengingat kata sambutannya  saja sudah ada pada tahun 1913. Buku tersebut ditulis oleh W.M Hutagalung, yang merupakan Asisten Demang di Pangururan pada waktu itu, sehingga orang ini merupakan kaki tangan Belanda yang bekerja untuk Belanda. Banyak terjadi permasalahan di seputar persiapan penulisannya, sehingga membuat buku ini tertunda terus untuk diterbitkan. Dalam keadaan bermasalah seperti tadi, penguasa Belanda memerintahkan buku itu diterbitkan, sehingga terbitlah buku tersebut pada tahun 1926 seperti yang dapat kita lihat sekarang. Kemudian isi buku tersebut disosialisasikan melalui sekolah-sekolah yang disubsidi pemerintah Belanda di masa lalu dan dikelola oleh misionaris Jerman.

Pada bagian awal buku tersebut diuraikan tentang Langit Ketujuh tempat Raja Odapodap dan Si Borudeak Parujar yang kemudian turun ke bumi melalui puncak Pusuk Buhit dan berjalan terus ke Sianjur Mulamula. Di sana mereka berdua kawin dan melahirkan Raja Ihatmanisia dan Boruitammanisia yang menjadi nenek-moyang manusia. Keturunannyalah Si Raja Batak yang menurunkan BANGSO BATAK, karena sebagian keturunannya pergi ke Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah Simalungun, dan Tanah Mandailing yang membentuk Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing, sedang yang menetap di Tano Toba menjadi Batak Toba. Di dalam buku tersebut seluruh marga-marga Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, dan Mandailing dirajut sedemikian rupa menjadi keturunan Si Raja Batak di dalam tarombo yang diuraikan dengan panjang lebar di dalam buku tersebut. Cara merajut marga-marga tersebut penulis sebut sebagai "jurus padomuhon langit dohot tano" (jurus mempersatukan langit dengan bumi)sebagaimana sudah dibuat dalam tulisan sebelumnya.

Akibatnya, seluruh marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing menjadi marga Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak. Dalam kerangka pikir seperti inilah, maka disebutlah Orang Toba menjadi Batak Toba, Orang Pakpak menjadi Batak Pakpak, Orang Karo menjadi Batak Karo, Orang Simalungun menjadi Batak Simalungun, dan Orang Mandailing menjadi Batak Mandailing. Orang Toba memahaminya demikian, karena sejak abad kesembilanbelas hal ini sudah disosialisasikan oleh Belanda bekerja sama dengan misionaris Jerman dulunya dan Tano Toba diganti oleh Belanda namanya menjadi Bataklanden (Tano Batak). Padahal, stempel Raja Singamangaraja XII bunyinya: "Maharaja di Negeri Toba" atau dalam bahasa Tobanya yaitu: Tano Toba. Orang Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing dapat diperkirakan merasa asing dengan cerita asal-usul dari Sianjur Mulamula ini, karena setiap etnik ini tentulah punya mitologi yang menceritakan asal-usulnya yang bukan dari Sianjur Mulamula. Tapi, kemudian "digeser" menjadi berasal dari Sianjur Mulamula hingga dijadikan menjadi Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing, sehingga keempat etnik ini "merasa dipaksa" berasal dari Sianjur Mulamula dan menjadi keturunan Si Raja Batak.

Di Sianjur Mulamula, pada tebing bukit di sana, ada tertulis Si Raja Batak dan Sianjur Mulamula asal Halak Batak, yang 5 Suku: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Demikian juga di Tomok ada gerbang selamat datang berbentuk monumen bertulisan: Batak Toba, Batak Pakak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Hal ini sudah menguatkan isi buku tadi, bahwa di dalam pikiran pengagum buku tersebut, bahwa Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing berasal dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir. Ringkasnya dari buku tadi, bahwa Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Samosir. Inilah mitos yang dibangun melalui buku W.M. Hutagalung tersebut dan banyak buku yang ditulis kemudian didasarkan pada mitos ini.

Kemudian sejak paruh kedua tahun 1980-an, buku ini dijual lagi dengan gencarnya di toko-toko buku dan di terminal-teminal. Sampai sekarang banyak buku tersebut dijual di toko-toko buku dan di terminal seperti terminal Perluasan Siantar dan Siborong-borong. Dengan melihat panjang kurun waktu yang berlangsung tersebut, maka diperkirakan buku tersebut terjual sekitar 500.000 - 1.000.000 eksemplar. Fantastis, menggiurkan hasil penjualan buku tersebut, yang isinya hanyalah menguraikan mitologi dan turiturian (folklore) dan isinya sulit untuk dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, betapa tidak arifnya kita ini kalau hanya mewariskan mitologi dan folklore (turiturian) di abad keduapuluh satu ini di saat manusia sudah hendak pergi ke planet Mars dan hidup di era kemajuan iptek secanggih seperti sekarang ini.


Pakpak adalah Etnis Tersendiri

Setelah melihat ke belakang, tampak jelas bahwa buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” telah menimbulkan masalah bagi kelima etnis tadi yang hendak disatukan menjadi satu rumpun dengan nama BANGSO BATAK. Mandailing sudah dari awal menolaknya melalui pengadilan, sehingga Mandailing terpisah dari Batak atau tidak termasuk Bangso Batak berdasarkan putusan pengadilan.    Sedang   Simalungun  telah menerbitkan buku:  “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” (2012)  yang  ditulis oleh  sebuah Tim yang mumpuni sebanyak 7 (tujuh) orang, yang terdiri dari: 3 doktor (S-3) dan 4 master (S-2). Tentu buku Etnis Simalungun ini jauh berbeda bobotnya dibandingkan dengan buku W.M. Hutagalung tadi dan patut dicatat bahwa buku ini tidak memakai kata Batak Simalungun, tetapi memakai kata Etnis Simalungun dengan kesadaran akan adanya suatu proses Tobanisasi yang telah berlangsung selama ini. Pihak Simalungun menjelaskan bahwa Kerajaan Nagur sebagai cikal-bakal masyarakat Simalungun itu berasal dari India, artinya bukan berasal dari Sianjur Mulamula. Belum lagi melihat perbedaan ras antara pendiri Kerajaan Nagur dengan penghuni awal Sianjur Mulamula. Dengan demikian, dengan menyebut Etnis Simalungun, maka Simalungun merupakan etnis tersendiri yang terpisah dari Batak atau tidak termasuk dalam Bangso Batak. Kemudian pihak Karo memperkuat dirinya dengan memutuskan Merga Silima yang bukan berasal dari Sianjur Mulamula meneguhkan Karo sebagai sebuah etnis tersendiri dan mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun