Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jendral Andika, Bumper Jokowi di Masa Injury Time

4 November 2021   15:47 Diperbarui: 21 Desember 2021   16:19 2032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden SBY memimpin rapat sekgab koalisi partai pemerintah (sumber: nasional.tempo.co)

Presiden Joko Widodo tentu cermat melihat fenomena semacam ini. Langkah utama yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo adalah memilih para pembantunya yang memiliki loyalitas tinggi. Loyalitas dalam bekerja serta tidak sering melakukan akrobatik politik yang cenderung akan merusak citra pemerintahan. 

Langkah ini memang tidak mudah bagi Presiden Joko Widodo. Sebab, ada sebagian tokoh yang berpotensi maju sebagai calon presiden di pemilihan presiden 2024. Sebut saja ada nama ketua umum partai Golkar Airlangga Hartarto, ketua umum partai PPP Suharso Monoarfa yang digadang-gadang maju dalam kontestasi pilpres 2024.

Dalam hal memilih Andika Perkasa sebagai panglima TNI, presiden Joko Widodo tentu berharap adalah langkah perubahan selama satu tahun ini ke depan. 

Sebagai masyarakat biasa tentu kita hanya menantikan kinerja panglima TNI yang baru nanti. Sama halnya dengan presiden Joko Widodo, masyarakat tentu menginginkan panglima TNI yang akan diputuskan nanti tidak boleh melakukan manuver politik. Fokus pada pengembangan dan pengelolaan militer serta peningkatan sumber daya manusia para anggota TNI.

Presiden Joko Widodo tentunya belajar juga dari Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo. Bagi penulis, salah satu blunder terbesar presiden Joko Widodo adalah saat memilih Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo. Bukan karena kualitas persoalan nya melainkan alasan loyalitas. Dalam banyak hal, kelihatan sekali bahwa Gatot Nurmantyo berbeda pendapat dengan presiden Joko Widodo.

Saat itu, presiden Joko Widodo seperti tidak nyaman dengan manuver yang dilakukan oleh Gatot Nurmantyo. Seperti halnya isu tentang kebangkitan Gerakan 30 September (G30S PKI). 

Presiden Joko Widodo menginginkan adanya pembaharuan film G30S PKI yang mengikuti perkembangan zaman serta mengkaji kemarin fakta-fakta sejarah mengenai G30S PKI. Namun, tidak mendapatkan respon positif dari panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kala itu.

Manuver Gatot Nurmantyo ini berlanjut sampai masa purna tugasnya. Bersama alumni 212, mendirikan organisasi bernama KAMI. Organisasi yang lahir untuk menentang kebijakan pemerintah di bawa pimpinan presiden Joko Widodo.

Gatot Nurmantyo saat menjadi Deklarator KAMI (sumber: news.detik.com)
Gatot Nurmantyo saat menjadi Deklarator KAMI (sumber: news.detik.com)

Sah-sah manuver politik yang dilakukan mantan panglima TNI tersebut. Semua orang memiliki hak yang untuk berpendapat termasuk mengkritik kebijakan pemerintah. Tentu tidak bagi Presiden Joko Widodo, yang merasa terganggu oleh mantan bawahan nya tersebut. 

Dibeberapa kesempatan Gatot Nurmantyo melakukan manuver politik yang membuat pemerintah geram. Isu kebangkitan PKI dimainkan dan saat itu langsung direspon oleh Agum Gumelar yang juga merupakan Jendral purna tugas. Isu musiman yang selalu dimainkan diakhir bulan september (kata sebagian orang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun