Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (6. Bentura Budaya di Batavia)

26 Januari 2022   13:44 Diperbarui: 26 Januari 2022   13:47 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dari pictsart app

Interaksiku yang nyaman dengan Mayang membuat penyesuaian cara hidup di negeri tropis dapat dilakukan dengan lancar. Demikian juga sebaliknya, gadis yang jika tertawa tampak sederet giginya yang berjejer rapi, saat ini sudah lebih banyak mengerti akan kebutuhan harianku yang diperlukan.

"Air mandi sudah siap, Tuan!" itulah kata-kata yang sering diucapkan Mayang pada pagi maupun sore hari menjelang malam.

"Terima kasih,"itulah jawabanku singkat hanya untuk membuat Mayang segera berpindah ke pekerjaan lainnya.

Hal yang pada awalnya merupakan sesuatu yang tidak kumengerti dan sulit untuk dilakukan. Tetapi ia selalu mengingatkan terutama pada minggu-minggu pertama kedatanganku di Batavia yang selalu menyediakan keperluan mandi harianku secara teratur. Biasanya aku hanya terbengong saja memperhatikan Mayang yang masih terus berdiri sambil tertunduk, untuk memastikanku telah melakukannya. Sesuatu yang menurutku sangat tidak masuk akal. Mandi adalah sesuatu yang jarang dilakukan dinegeri asalku dimana mata hari paling terlihat hanya dalam waktu 3 bulan saja. Itupun masih tetap dalam cuaca yang masih dingin menggigil.

Meskipun akhirnya aku dapat mengerti dan kemudian menuruti permintaan dari seorang perempuan pembantu rumah tangga pribumi asli tersebut. Mayang melakukannya dengan alasan, bahwa setelah beraktifitas penuh diluar ruang yang cuaca terik pasti membuat seluruh tubuh gerah dengan keringat yang terasa lengket dikulit. Pastilah sangat membuat badan terasa tidak nyaman terutama pada malam hari saat istirahat tidur malam.

Hal lainnya yang pada awalnya membuat kami tidak saling mengerti yaitu dalam berpakaian.

"Dimana kau simpan mantel biruku, Mayang?" karena aku tidak melihat seragamku yang tampak mencolok dan sangat tebal itu.

"Semua baju terlipat dan disimpan dilemari kamar," Mayang menunjuk sambil menunduk dengan jempol kanannya kearah yang dimaksudkan, " beberapa kain tebal dan alas kasur juga terlipat rapi di atas lemari, Tuan,"jawabnya panjang lebar. Aku terbelalak mendengarnya. Kupastikan Mayang menduga seragamku itu adalah selimut atau alas kasur tidurku, sehingga tidak disimpan dilemari pakaian. Dan memang terlihat seragam mantel berbahan wol tebal berwarna biru selutut itu terbungkus rapi diatas lemari kayu disudut kamarku. Saat di Bristol, seragam tersebut biasanya juga berfungsi untuk menahan cuaca luar yang dingin dan bahkan terkadang membeku. Mantel yang sangat tebal, tentu akan terasa sangat tidak nyaman jika digunakan di Batavia yang rata-rata suhu hariannya mencapai 28 derajat celsius dan bahkan sering lebih dari itu. 

Mantel tebal biru kehitaman lengkap dengan epaulette[1] itu biasanya tetap kupakai saat acara-acara resmi kerajaan di Batavia. Sejenis mantel yang menutup tubuh dengan ornamen hiasan dari benang-benang besar yang mengkilat berwarna keemasan yang dijalin bertumpuk tumpuk dibagian pundak dikiri dan kanan. Siapapun perwira Inggris yang memakainya akan terlihat sangat gagah dipandang mata. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun