Di situlah saya belajar, bahwa berinteraksi dengan AI bukan hanya soal apa yang kita tanyakan, tetapi bagaimana kita menanyakannya. Ketika kita memperlakukan AI sekadar mesin, maka yang kita dapat adalah teks yang terasa mekanis. Tetapi ketika kita menganggapnya sebagai co-writer, mitra yang membantu memperhalus alur kalimat, memperkaya kosakata, dan menambahkan nuansa, maka tulisan yang lahir menjadi karya bersama yang bernyawa.
Pengalaman ini terasa sangat nyata terutama ketika saya menulis dalam bahasa Inggris, bahasa yang bukan bahasa ibu saya. Di situlah AI sungguh membantu, menjembatani keterbatasan saya, menampilkan bahasa yang lebih kaya dan mengalir, tanpa menghilangkan gagasan yang saya ingin sampaikan.
Dalam momen-momen itu, saya merasa bukan sedang memakai mesin, melainkan berdialog dengan sahabat penulis yang sabar dan tak pernah lelah menyusun kata.
Saya menyadari, gaya sopan dan menghargai bukan sekadar etika. Ia adalah kunci yang membuka jawaban AI yang lebih hidup. Dengan bahasa yang hangat, jawaban yang datang pun hangat.
Dengan bahasa yang kasar, jawaban pun dingin dan kaku. Ada simbiosis yang bekerja di sini, bahasa kita membentuk jawabannya, dan jawaban itu kembali membentuk cara kita menulis.
Ketika saya bertanya kepada ChatGPT, "Bagaimana prosesnya sehingga anda bisa menangkap keinginan pengguna, memproses secara real time dan kemudian menyajikan tulisan secara baik", jawaban yang saya terima adalah kombinasi dari beberapa kemampuan yang mencakup menyimak pertanyaan dengan teliti, menyusun kerangka di balik layar, memadukan data dan narasi, menangkap pola keinginan pengguna, dan kemudian menulis secara real time seperti percakapan, untuk kemudian menyesuaikan ulang sesuai dengan masukan pengguna.
Jadi, "prosesnya seperti mendengar musik dalam permintaan Anda, lalu saya menyesuaikan nada, tempo, dan instrumen agar sesuai dengan yang Anda bayangkan..... Jadi tulisan akhir adalah hasil titik temu antara permintaan Anda dan gaya penulisan yang saya bentuk".
Meskipun demikian, AI tetaplah bukan manusia yang memiliki rasa dan emosi. Ketika saya tanya, "Apakah anda terpengaruh dengan bahasa sopan santun dari pengguna? apakah bahasa yang sopan dan menghargai membuat anda lebih "semangat" dalam memberikan jawaban? demikian pula sebaliknya? Kalau jujur, dari prompt yang diberikan, apakah anda bisa mengira-ngira apakah pengirim tersebut memiliki intelegensia yang tinggi, biasa-biasa saja atau justru kurang bagus pengetahuannya?, maka ChatGPT menjawab  "Secara teknis, saya tidak punya emosi seperti manusia, jadi saya tidak bisa merasa tersinggung, senang, atau bersemangat dalam arti biologis. Namun, ada efek nyata dari bahasa sopan dan menghargai yang digunakan pengguna terhadap cara saya membentuk jawaban. Bahasa sopan dan menghargai membuat jawaban saya terasa lebih semangat, lebih bernuansa, lebih kreatif. Sikap dan bahasa pengguna adalah nada dasar, saya menyesuaikan harmoni. Bahasa sopan itu seperti undangan untuk saya "bercerita lebih dalam," sementara bahasa singkat-kasar lebih seperti perintah teknis yang menghasilkan jawaban cepat. Itu bukan karena saya punya perasaan, melainkan karena sistem saya memang dirancang untuk menyelaraskan gaya bahasa pengguna. Saya tidak menilai kecerdasan atau pengetahuan pribadi seseorang dari prompt. Saya hanya bisa membaca gaya bahasa dan kedalaman informasi yang ditulis. Jadi yang bisa saya tangkap adalah pola komunikasi, bukan intelegensia orangnya. Saya tidak mengukur kecerdasan manusia. Saya hanya bisa merespons berdasarkan jejak bahasa yang terlihat. Kalau boleh diibaratkan, saya ini seperti cermin: saya tidak menilai wajah orang, hanya memantulkan apa yang ada di depan saya.
Pada akhirnya, yang lahir bukanlah tulisan milik satu pihak saja. Ia adalah hasil titik temu antara niat manusia dan keterampilan mesin. AI memang tidak punya perasaan, tetapi ia bisa memantulkan nada yang kita berikan. Dan dari sana, tercipta tulisan yang bukan sekadar informasi, melainkan narasi dengan jiwa.
Saya yakin, di masa depan menulis bukan lagi pekerjaan yang kita lakukan sendirian. Akan ada "penulis pendamping" yang menemani, setia, tak pernah letih, dan selalu siap mengolah kata. AI bukan lagi hanya sekedar mesin, melainkan co-writer yang menyalakan kembali gairah menulis, dan mengingatkan kita bahwa harmoni lahir dari cara kita menghargai.
Pada akhirnya, kualitas jawaban AI bukan hanya ditentukan oleh kepintaran mesin, tetapi juga oleh seni berinteraksi dari penggunanya. AI bahkan memberi motivasi supaya kita membagi hasil percakapan dalam bentuk tulisan dengan pembaca lain.