Mataku berat hari iniÂ
Sarat gemerlap airmataÂ
Hendak buncah tapi dia menggantung sukaÂ
Menumpuk sesak kian berkaratÂ
Aku alihkan pandangan pada kejauhanÂ
Tetap saja membayang keonaran jiwa  mereka
Jiwa perempuan-perempuan yang ditimpa malangÂ
Dibalik ruangku, tepat di beranda tanahku
Banjir airmata kudengar menderuÂ
Menghabiskan segala kepercayaan terhadap dunia
Masihkah ada bahu diantara mereka untuk bersandar Â
Masihkah ada hukum yang memayung hak mereka untuk terlindungiÂ
Atau sekedar slogan yang pernah keras digemakanÂ
Â
Bisakah kau lihat kain-kain penutup keperempuannya yang dikoyak bar-bar syahwat
Lalu dibayar murah dengan hukum cuma bulanan dan cemoohanÂ
Padahal ia menanggung benih yang menjadi musuh masa depannya
Atau bisakah kau lihat  airmata itu akan terus menjadi banjir yang merusakÂ
Karena amarah, sakit, luka dan rasa hancur yang tak berkesudahan
Dari mata perempuan yang dijual bebas oleh bagian dari hidupnya
Sepanjang ingatan melekat, sepanjang masanyaÂ
Jiwanya terbelah pecah, jejak tak terhapus
Â
Diamku saja yang jauh bergemuruhÂ
Membuat percayaku pun musnah perlahanÂ
Kabar kabar yang memberi bilur deraÂ
Karena aku pun perempuanÂ
Ibuku perempuanÂ
Anakku perempuanÂ
Jika mereka menangis, aku pun berurai airmataÂ
Lalu berapa banyak yang harus jadi korbanÂ
Dan berapa banyak generasi menanggung dendam
Oh serasa kegilaan mulai menyakiti nalar
Tangan tak berdaya, ucap pun cuma ikut berdukaÂ
Tapi serasa mati pula hari ini
Macam mereka yang menanggung deritaÂ
Begitu mungkarnya jaman sampai lari ke tepi-tepi jurang
Meski kabarnya bakal hilang jua di  hari esok Â
 Tapi mata korban tetap diekori  sorot mata pelaku!
Adili! Adili!