Mohon tunggu...
Afdzakii
Afdzakii Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu politik Uinsa yang sedang berusaha untuk menambah wawasan dan pengetahuan dengan menambah literasi dan juga karya ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Keyakinan Jadi Alat Politik: Bahaya atau Kekuatan?

6 Juni 2025   13:50 Diperbarui: 6 Juni 2025   13:50 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah hiruk-pikuk demokrasi, penggunaan simbol dan narasi keagamaan dalam politik bukan lagi hal yang mengejutkan. Dari panggung kampanye hingga unggahan media sosial, keyakinan baik dalam bentuk agama maupun ideologi sering dijadikan alat untuk menggaet simpati publik. Namun, di balik semaraknya politik yang dibalut moralitas, muncul pertanyaan kritis: apakah penggunaan keyakinan dalam politik merupakan kekuatan moral yang mencerahkan, atau justru bahaya laten yang merusak keberagaman dan demokrasi?

Secara konseptual, politik adalah seni mengelola kekuasaan dan kepentingan (Zai & Gulo, 2025). Sementara itu, keyakinan, baik berbasis agama maupun ideologi adalah sumber nilai, moral, dan arah hidup individu serta kelompok (Mahmud, 2024). Dalam sejarah bangsa, keduanya kerap bersatu: agama menginspirasi perlawanan terhadap penjajahan, ideologi memberi arah dalam pembangunan negara. Namun, dalam dunia kontemporer, pertemuan keduanya tak selalu menghadirkan harmoni. Ketika keyakinan dijadikan alat, bukan inspirasi, maka konflik nilai pun tak terelakkan.

Dalam praktiknya, kita menyaksikan politisi menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk membangun citra "saleh", mengutip ayat-ayat suci sebagai bahan kampanye, atau menjadikan tokoh agama sebagai alat legitimasi. Tidak sedikit tempat ibadah yang berubah menjadi panggung politik terselubung. Media sosial semakin memperkuat fenomena ini: narasi berbasis agama dan ideologi disebarluaskan untuk menggiring opini publik, bahkan kadang menjatuhkan lawan politik atas nama "kebenaran." Politisasi keyakinan berpotensi memecah belah masyarakat. Polarisasi muncul saat individu atau kelompok merasa paling benar atas dasar keyakinan yang dianut, sementara yang berbeda dianggap "sesat" atau "musuh". Ini bukan sekadar beda pendapat, melainkan fragmentasi sosial yang berbahaya. Bubble opini terbentuk, di mana orang hanya mau mendengar pihak yang sejalan. Tak jarang, ruang publik menjadi ladang radikalisasi wacana, di mana perbedaan tidak ditoleransi dan dialog menjadi mustahil. Lebih jauh, ketika agama dipakai sebagai alat kampanye, ia rentan disederhanakan menjadi komoditas politik. Nilai-nilai luhur dalam ajaran agama bisa tereduksi menjadi slogan-slogan kosong yang hanya digunakan untuk merebut suara. Agama kehilangan substansinya sebagai sumber kedamaian dan moralitas. Tapi Apakah Selalu Negatif? Menggunakan keyakinan dalam politik tidak selalu berkonotasi negatif. Dalam banyak kasus, nilai-nilai keimanan mampu menjadi penuntun moral bagi tindakan politik. Prinsip-prinsip seperti keadilan, kejujuran, empati, dan kepedulian sosial yang bersumber dari ajaran agama atau ideologi tertentu dapat memperkuat integritas pemimpin dan kebijakan publik (Sari, 2023). Tokoh-tokoh agama juga memiliki potensi besar untuk menjadi pengingat etika, penghubung antara aspirasi masyarakat dan penguasa, serta agen perubahan sosial. Dengan pendekatan yang inklusif dan toleran, mereka bisa mendorong politik yang lebih beradab dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Yang menjadi krusial adalah membedakan antara menjadikan keyakinan sebagai inspirasi moral dan sebagai alat manipulasi. Di sinilah peran etika politik menjadi penting. Politik yang sehat tidak memanfaatkan keyakinan untuk menabur kebencian, tetapi menjadikannya sebagai pijakan moral untuk membela keadilan dan menghormati keberagaman. Selain itu, peran masyarakat sipil, media, dan pendidikan politik menjadi vital dalam membangun kesadaran kritis. Publik harus diedukasi untuk mengenali narasi yang manipulatif, dan mendorong ruang publik yang terbuka, inklusif, dan toleran terhadap perbedaan pandangan. Ketika keyakinan dijadikan alat politik, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerahkan atau justru bahaya yang memecah belah. Semuanya tergantung pada niat, cara, dan konteks penggunaannya. Keyakinan seharusnya menuntun politik menuju keadilan, bukan membutakannya oleh ambisi kekuasaan. Dalam dunia yang kian kompleks ini, yang kita butuhkan bukan politik berbungkus agama, melainkan politik yang berjiwa etis, politik yang menjunjung nilai-nilai luhur tanpa mengeksploitasi kesucian keyakinan.

Masyarakat perlu semakin cerdas dalam membedakan mana yang benar-benar menjadikan nilai keimanan sebagai panduan moral, dan mana yang sekadar menjadikannya alat propaganda. Kekuatan spiritual dan ideologis seharusnya digunakan untuk memperkuat empati, bukan menyalakan kebencian. Hanya dengan kesadaran kolektif, dialog terbuka, dan komitmen menjaga ruang publik yang inklusif, kita dapat menciptakan politik yang tidak hanya kuat secara struktural, tetapi juga sehat secara etis. Karena pada akhirnya, kekuasaan akan datang dan pergi tetapi nilai-nilai kebaikan harus tetap hidup di tengah masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun