kalaupun aku adalah awam, adakah rambu larangan untuk menggelorakan kejujuran penilaian, terhadap ketimpangan yang melanda negeri ini?
negeriku, dituturkan oleh pewarta cerita di kala aku masih bocah, adalah negeri yang subur makmur, masyarakat berkehidupan guyub rukun beradab adiluhungÂ
namun, yang kusaksikan, saat aku sudah bukan bocah lagi, mengapa tak seperti yang dimitoskan?
kemiskinan masih jadi momok bayangan mengikis gambaran subur kang sarwa tinandur, gemah ripah loh jinawi tata tentrem rukun raharja
kemanakah semua setempel yang menancap sejak berabad-abad berlalu? luluh lantakkah semuanya? dan, mengapa?
jikalau para petinggi negeri ini sudah tak bernurani atau sudah tak sanggup lagi, mengapa masih bertahan diri bahkan tak peduli?
jikalau negeri ini telah kehilangan harga diri, relakah kita ini, yang hidup di tengah belantara jagad yang makin tua dan tak muda lagi?
dimanakah kudapat jawaban?Â
saling baku hantam berebut reputasi supremasi telah melanda negeri ini, terpolarisasi menjadi faksi-faksi
bhinneka tunggal ika, hanya jadi hiasan tanpa arti karena tak seperti yang pernah didongengkan oleh para pendiri negeri
kini, saling caci sudah jadi konsumsi sehari-hari dan tak tabu lagi mewarnai penjuru negeri...
bolehkah aku yang awam ini bicara menurut kata hati?
(inspirasi dari kaum marjinal yang nafasnya makin tersengal)