Mohon tunggu...
Dyah Ayu Anggara Shavitri
Dyah Ayu Anggara Shavitri Mohon Tunggu... An author and a long life learner

Saya adalah seorang penulis dan editor kreatif yang telah berkecimpung di industri konten digital, penerbitan buku, dan komunikasi strategis. Lulusan Ilmu Komunikasi Internasional dari LSPR Jakarta, saya menaruh perhatian besar pada narasi personal, storytelling bermuatan budaya, dan isu-isu sosial yang berkelindan dengan keseharian generasi muda urban. Berpengalaman sebagai content writer, copywriter, proofreader, dan editor akuisisi, saya juga aktif menulis fiksi dan nonfiksi dengan gaya khas: reflektif, emosional, dan kadang satir. Lewat blog ini, saya ingin berbagi keresahan, imajinasi, dan percakapan batin dengan siapa pun yang sempat singgah dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Danau Gayatri

23 Maret 2025   18:38 Diperbarui: 25 Maret 2025   16:01 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret dua wanita Asia/ Sumber: www.istockphoto.com

Sementara itu, tanpa Stuti sadari..., Shavitri mengusap kain satin baru pada sabuk itu. Berwarna biru kehijauan. Persis seperti danau buatan di belakang gedung bisnis pertambangan Irodikromo. 

Sesampainya di rumah, Stuti dan Shavitri menatap bingung ruang makan yang kosong. Makan siang Warsidi dan Jumira masih terbilang utuh, meskipun sudah ada bekas gigitan di ayam dan ikan goreng. "Jangan-jangan Ayah dan Ibu datang ke Gayatri lagi," gumam Shavitri takut. 

Walaupun sempat bingung mengapa adik bungsunya ketakutan menyebut nama kembarannya sendiri, Stuti bergegas mengambil langkah pergi. Bertanya pada pelayan-pelayan di rumah mereka. Shavitri hanya mengikuti sang kakak dari belakang. Kecemasan semakin meliputi benak putri bungsu keluarga Irodikromo. 

Saat Stuti baru memasuki pubertas, ada seorang pria--yang diduga anak pelayan--menyisipkan ponsel dengan kamera menyala ke kamar si sulung. Si penguntit tidak tahu kalau Gayatri ada di sana, dan dalam sekejap tangan anak laki-laki itu dipatahkan kembarannya. Ibu mereka mengumpulkan semua pelayan dan marah sekaligus kecewa mendapati salah satu di antaranya memiliki patah tulang tangan---yang berarti ucapan Gayatri benar apa adanya, ditambah ponsel yang jatuh ke dalam kamar Stuti. Sayangnya, Warsidi khawatir akan mendapat label majikan kasar, sehingga ia menampar Gayatri di depan semua pelayan. 

Di balik batang pohon beringin yang berjarak sepuluh langkah, Stuti dan Shavitri menyaksikan Gayatri menggenggam pisau dapur. Enam pria dewasa dan remaja terkapar. Stuti membekap mulut, menghalau rasa muntah yang mendera. Barang vital di balik pesak para pria, tidak lagi menggantung sempurna. 

Begitu Warsidi menyeret si bungsu masuk ke rumah, sorot mata dingin dan keraguan sepasang kembar-kembir itu beradu. Mengingat ucapan Gayatri semalam---saat Shavitri memergokinya akan mencekik Warsidi, 'Hidup bahagia dengan priamu, atau kamu tidak hidup sama sekali'. Warsidi tidak akan menerima calon menantu yang merupakan gigolo terkenal di desa. 

Tengah malam, Shavitri mengikatkan sabuk Gayatri di pinggang. Menoleh ke jendela kamarnya, melihat tatapan Gayatri untuk terakhir kali, sebelum menceburkan diri ke danau.    

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun