Setarik senyuman Dharmastuti bersamaan dengan kepulangan wanita itu ke rumah, berangsur-angsur luntur. Sapuan kedua manik matanya tidak menangkap sosok-sosok cantik kedua adik kembarnya. Sang Ibu, Jumira, menegur Stuti agar bergabung makan dengan sang Ayah. Namun, ayahnya sendiri, Warsidi Irodikromo, menahan istrinya agar tidak terlalu memaksa Stuti. "Hanya Stuti yang bisa mengajarkan hal-hal benar ke si kembar---terutama Gayatri."Â
Jumira mencibir Warsidi dengan lirikan mata. "Apa lagi yang harus diajarkan pada Vitri dan Gaya? Mereka sudah dewas--"
"Belajar menjadi wanita sesungguhnya. Melayani pria dan mengurus rumah," sahut Warsidi sembari melempar tatapan dingin ke wanita di sampingnya.Â
Lenyap sudah rasa hormat Jumira pada pria yang telah ia nikahi selama berpuluh-puluh tahun. "Kalau begitu Stuti harus berhenti ke kota seberang. Mencari nafkah itu tugas PRIA kan?!"
Warsidi mengeraskan kedua rahangnya murka. "Kalau bukan karena doa buruk orang tuamu, Stuti bisa dilahirkan sebagai laki-laki! Bukan perempuan! Sekarang, lihat akibat sifat membangkangmu, Mira!"
"Aku membangkang juga demi kita, Mas!"Â
Adu debat sepasang orang dewasa itu terhenti tatkala salah seorang pelayan menghampiri ruang makan. "Ga--Non Gayatri...," bisik sang pelayan laki-laki terbata-bata. Jumira menangkap sorot kengerian dari sepasang manik matanya yang cekung. Berbanding jauh dengan Warsidi. Pria itu sudah membanting sendok dan garpu, lalu berderap cepat meninggalkan ruang makan. Â Â
Begitu mendengar suara Warsidi dan Jumira meninggi, Stuti langsung meninggalkan wilayah rumah. Menjadi Putri Sulung jelas membuatnya bisa mengerjakan lebih banyak pekerjaan dan menunjukkan potensi lebih dari sekedar mengatur dapur. Namun, tidak bisa hatinya memungkiri, ia tidak sanggup meninggalkan Jumira sendirian. Di sisi lain, kedua adik kembarnya---Shavitri Setiawan Irodikromo dan Gayatri Faira Irodikromo, terlalu sibuk dengan dunia sendiri. Â
Ironis, semua anak-anak Warsidi berjiwa bebas. Namun, tidak ada di antara mereka yang terlahir dengan sepasang bola di antara kedua kaki.Â
Stuti tersenyum haru begitu berpapasan dengan Shavitri yang kelihatannya habis berbelanja sesuatu dari pasar yang memang dekat Alun-alun Desa. "Buat Mbak Stuti yang suka meronce!" seru Shavitri riang seraya memberikan pernak-pernik degan macam-macam bentuk dan warna-warni, beserta tali untuk menguntai kalung atau gelang. "Lho, bukannya itu sabuk Gayatri?" tanya Stuti penuh selidik.Â
Shavitri terlihat gelagapan, sebelum menjawab tempo hari ikat pinggang berbahan satin itu robek, lalu Gayatri memintanya untuk pergi ke tukang jahit. Sepanjang jalan, Stuti mengomel kecil di sepanjang jalan---kalau sejak dulu, Gayatri memang bukan tipe perempuan penyabar. Selalu terburu-buru dan keras kepala.Â