Mohon tunggu...
Dwi Putri Oktaviani
Dwi Putri Oktaviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

This is me

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Waktu Senin (Bagian 7)

23 Desember 2023   00:33 Diperbarui: 23 Desember 2023   00:34 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : jam kayu analog (Sumber Gambar: Unsplash)

Kali ini, untuk pertama kalinya aku tidak melihatnya di waktu senin. 

Jam pulang sekolah sudah selesai dari setengah jam yang lalu, tetapi aku masih disini, terduduk diam di bangkuku sambil melirik kearah secari kertas yang tergeletak di mejaku. Aku membuang wajahku menghadap jendela yang menampilkan langit yang sedang dilanda hujan deras dengan tatapan kosong. Aku benci saat ini, aku benci saat merasakan bahwa tubuhku terdiam bisu dengan perasaan yang benar - benar berkecamuk. Adrenalinku semakin tidak beratur saat aku merasakan sesak dan nyeri di hatiku, benci mengetahui fakta bahwa Langit tidak akan terlihat lagi selamanya. Waktu senin, maupun hari lainnya, minggu lalu adalah waktu berharga dimana aku merasakan kesenangan yang jarang sekali kurasakan.

"Langit, meninggalkan secarik kertas bahwa kamu selama ini memiliki penyakit, permintaan maaf karena akan meninggalkanku, dan juga permohonan kepadaku untuk tetap mempertahankan perasaan baru yang kurasakan bukanlah hal yang keren. Kamu benar - benar membuatku merasakan hal yang tidak pernah terbayang di benakku bahwa ini akan menyakitkan." gumamku sambil menatap langit yang masih menangis dan tak terasa air mataku turun untuk mengikuti bagaimana langit menangis.

"Kamu udah janji........ kamu udah janji untuk terus cerah kan, langit?"

"Iya kan, Langit?"

Tidak ada perpisahan terucap langsung dengan aku yang tidak pernah tau kebenarannya. Tubuhku gemetar dalam tangis saat ingtanku kembali teringat akan hal yang kami lakukan bersama. Itu menyenangkan, sangat menyenangkan, aku ingin merasakan itu lagi Langit, denganmu.

Tidak adil, ini benar - benar tidak adil untukku, Langit.

Aku mendecih, merasa Langit pastinya akan menertawakanku disana jika ia melihatku yang seperti ini. Aku membuang muka dan pandanganku terhenti di secarik kertas yang terbuka dengan stik es krim diatas tulisan Langit. Bocah lelaki itu memang selalu merepotkanku, ya.

Menyebalkan. 

Kali ini aku mengalah Langit, aku kalah.

Tanganku menggepal saat aku menahan diriku untuk tidak menumpahkan tangisan lagi, tidak baik untuk beradu tangisan dengan langit diluar sana. Aku menghadap langit dengan dagu terangkat berani, kemudian berucap dengan lirih dan sesak.

"Selamat jalan, Langit. Terima kasih." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun