Sepakbola adalah taman bermain bagi romantisme yang tak kunjung reda. Di dunia ini, kita selalu terjebak dalam fantasi bahwa kejayaan sepakbola harus diraih dengan cara yang sesuai dengan selera estetika tertentu—dengan penguasaan bola yang dominan, permainan menyerang, dan teknik individu yang menawan.
Ikhwal ini sampai juga ke Indonesia. Maka ketika Shin Tae-yong datang membawa revolusi yang lebih menekankan pragmatisme, kedisiplinan, dan kekuatan fisik, muncullah mereka yang merindukan sesuatu yang lebih "indah." Ketika Patrick Kluivert dan barisan staff pelatih dari Belanda diumumkan sebagai pelatih timnas, nostalgia pun meledak seperti petasan di malam takbiran.
"Ini baru pelatih! DNA menyerang! Filosofi sepakbola total!" seru mereka yang selalu terpesona dengan nama besar.
Tapi pertanyaannya, sejak kapan nama besar menjadi jaminan keberhasilan?
Shin Tae-yong datang ke Indonesia bukan membawa janji manis, melainkan kerja keras. Ia mengubah pola pikir pemain, membangun disiplin, dan memperkenalkan level profesionalisme yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Ia tidak peduli dengan permainan indah jika itu tidak membawa hasil. Ia paham bahwa sepakbola bukan soal siapa yang menghibur, melainkan siapa yang menang.
Dalam waktu singkat, timnas Indonesia berubah. Fisik para pemain meningkat drastis, intensitas permainan naik level, dan yang paling penting, ada mentalitas bertarung yang sebelumnya nyaris punah. Hasilnya? Final Piala AFF, melaju ke ronde ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, dan yang paling membanggakan: timnas Indonesia tidak lagi menjadi bulan-bulanan di level Asia.
Lalu datanglah Patrick Kluivert, sosok yang dielu-elukan sebagai pewaris filosofi Johan Cruyff, legenda sepakbola menyerang yang selalu dielu-elukan para moralis sepakbola. Tidak peduli bahwa Kluivert belum pernah memiliki rekam jejak sebagai pelatih utama yang sukses. Tidak peduli bahwa satu-satunya pengalaman melatih timnas adalah manjadi pelatih timnas Curacao. Yang penting, namanya besar. Yang penting, ia pernah bermain untuk Barcelona.
Sepakbola tidak bekerja seperti itu. Jika pengalaman sebagai pemain hebat adalah satu-satunya syarat untuk menjadi pelatih sukses, maka Diego Maradona akan membawa Argentina juara Piala Dunia 2010, dan Andrea Pirlo akan bertahan lebih lama di Juventus.
Tapi kenyataannya, dunia kepelatihan bukan soal nama besar. Ini soal kerja keras, pemahaman taktik, dan yang lebih penting: kemampuan beradaptasi dengan sumber daya yang ada. Shin Tae-yong memahami ini. Ia tidak datang dengan pakem permainan yang harus dipaksakan ke tim yang belum siap. Ia melihat bahwa Indonesia belum memiliki kedalaman skuad yang cukup untuk bermain seperti Manchester City atau Barcelona. Maka ia memilih jalur yang lebih realistis: pressing tinggi, transisi cepat, dan organisasi pertahanan yang solid.
Tentu, gaya bermain ini tidak selalu indah di mata para penggemar sepakbola romantis. Mereka ingin melihat tiki-taka, kombinasi umpan pendek, dan penguasaan bola 70 persen. Mereka ingin timnas bermain seperti tim impian mereka di PlayStation.
Tapi sepakbola bukan game konsol. Di dunia nyata, timnas Indonesia masih dalam tahap membangun fondasi. Memenangkan pertandingan lebih penting daripada memanjakan mata. Shin Tae-yong paham bahwa bertahan dengan baik sama pentingnya dengan menyerang, dan bahwa sepakbola adalah soal efisiensi, bukan soal seberapa banyak passing yang bisa dibuat dalam satu pertandingan.