Korupsi di Indonesia selalu menjadi cerita panjang yang seakan tak pernah selesai. Kasus yang baru-baru ini mencuat, yakni dugaan korupsi di tubuh PT Pertamina (Persero), menjadi salah satu skandal paling besar yang pernah terungkap. Dengan nilai kerugian negara yang fantastis, kasus ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap pengelolaan energi yang seharusnya menjadi tulang punggung kehidupan rakyat.
Pertamina adalah BUMN strategis yang mengelola sektor minyak dan gas di tanah air. Sayangnya, sejak 2018 hingga 2023, terkuak adanya praktik manipulasi impor dan pengoplosan bahan bakar yang merugikan negara. Berdasarkan perhitungan Kejaksaan Agung, kerugian ditaksir mencapai lebih dari Rp 193 triliun hanya dalam satu tahun (2023), dan bisa mendekati satu kuadriliun rupiah jika ditotal sejak awal kasus.
Beberapa pola kecurangan yang diungkap penyidik antara lain:
1. Manipulasi Spesifikasi BBM
Bahan bakar dengan oktan rendah (RON 88--90) dibeli lebih murah, lalu dicampur dan dijual kembali sebagai produk dengan RON lebih tinggi (RON 92/Pertamax).
2. Impor yang Tidak Transparan
Minyak dalam negeri ditolak dengan dalih mutu, padahal bisa diolah. Alhasil, impor dilakukan melalui pihak ketiga dengan harga lebih mahal, yang justru membuka celah praktik korupsi.
3. Kolusi dengan Pihak Swasta
Beberapa kontraktor dan perusahaan perantara diduga ikut terlibat dalam proses jual-beli minyak sehingga memperparah kerugian negara.
Skandal ini membawa dampak berlapis, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik:
Kerugian Keuangan Negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.
Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap BUMN dan pemerintah, khususnya di sektor energi.
Risiko terhadap Konsumen karena BBM oplosan berpotensi merusak mesin kendaraan.
Citra Buruk Indonesia di mata investor global, mengingat energi adalah sektor vital yang menopang perekonomian.
Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah pejabat Pertamina serta pihak swasta sebagai tersangka. Pertamina sendiri menyatakan komitmen memperbaiki tata kelola dan transparansi. Meski begitu, publik masih menaruh harapan besar agar penegakan hukum tidak berhenti pada individu, tetapi juga menyentuh sistem pengawasan yang lemah.
Kasus ini menegaskan bahwa korupsi tidak hanya merugikan dalam bentuk angka, tetapi juga mencederai rasa keadilan. Ke depan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Audit independen rutin di seluruh lini distribusi dan impor minyak.
2. Transparansi harga dan spesifikasi BBM agar publik bisa ikut mengawasi.
3. Sanksi tegas tanpa pandang bulu, baik untuk pejabat maupun mitra swasta.
4. Keterlibatan masyarakat dalam fungsi kontrol sosial agar skandal serupa tidak berulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI