Kalau berbicara tentang politik di media sosial ada perasaan takut dan deg-degan tidak karuan. Sebab sekali salah ucap dan salah menempatkan diri (kata) bisa kena rujak para aktivis medsos yang rupa-rupa ideologinya.
Cerita keberpihakan misalnya ikut ternak sini, ternak situ segera pasukan berani komentar dan berani nyinyir akan berbaris membuncahkan kata indah yang menyakitkan. Rasanya politik menjadi ajang kemarahan dan ajang pengadilan sidang rakyat medsos.
Teknologi Untuk Memproduksi KebencianÂ
Lihatlah kreatifitas AI atau Artifisial Intelegence dijadikan jalan untuk membuat meme, membuat gambar-gambar yang menampilkan banyak karakter tetapi tetap saja wajahnya sama. Cara kreatif mengejek itu seperti menjadi budaya yang legal. Saya tidak tahu lagi saat era digital demikian pesatnya tetapi tidak diimbangi dengan penguasaan diri dan adab menghargai seseorang yang pernah berkuasa.
Apapun latar belakang ketidaksukaan pada seorang politisi, yang menurun dari perkembangan teknologi adalah semakin bebasnya seseorang membuat foto, gambar, ilustrasi yang mendowngrade seseorang dengan kompilasi gambar, merekayasa gambar dengan seorang tokoh yang dibencinya.
Keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat, tidak adanya regulasi hukum yang kuat yang bisa membatasi seseorang untuk bertindak "anarki" di medsos. Kini kebebasan dimanfaatkan untuk menyerang dan mencaci maki tanpa batas. Sementara platform medsos yang menampung komentar pun malah tergirang-girang karena semakin banyak komentar akan semakin memberi kesempatan mendapatkan hadiah viral, banyaknya view, banyaknya pemirsa dan pembaca yang mampir untuk membuka dan menikmati komentar beragam dari netizen.
Indonesia boleh jadi penduduknya ramah-ramah dan wellcome, tetapi di media sosial netizen Indonesia begitu menakutkan. Kalau dimasukkan dalam hati bisa bikin stres. Bahkan berkemungkinan gila bila menelan mentah-mentah makian-makian yang terekspos di kolom komentar.
Sidang Rakyat di Kolom Komentar
Tetapi mengapa beberapa platform malah membuka diri dan membuka kolom komentar selebar-lebarnya bahkan serbuan akun judol dengan bebas merusak mood saat membaca komentar para netizen yang pintar-pintar, yang dengan santai menghakimi seseorang dengan pilihan politiknya.
Kalau saya ikut komentar sekedar meluruskan beberapa pendapat yang "kelewatan" saya malah dihakimi dengan makian ternak***penjilat, pemuja dan bla-bla-bla. Ikut berkomentar malah jadi sasaran umpatan. Tetapi kadang saking penasarannya saya menikmati kelucuan para pegiat dan komentar yang sering menggelikan.
Jika bicara politik apakah seseram itu. Padahal jika dulu membaca dasar-dasar politik Miriam Budiarjo rasanya politik itu sebetulnya asyik. Dengan sistem pemerintahan yang diatur sedemikian rupa, dengan pendekatan manusiawi, pendekatan ilmiah politik bisa menjadi jalan menuju negara maju dan bermartabat.
Tetapi sayangnya saya melihat masih banyak para pejabat publik demikian"songog'dan sombong, merasa sebagai pemimpin lantas dengan enteng memecat dan memindahkan pekerjaan gara-gara "hanya"dari laporan anaknya. Padahal anaknya salah tetapi karena jabatan maka ia bisa semena-mena mengubah aturan.
Kenapa wajah politik begitu menyeramkan? Karena mereka yang masuk dalam dunia politik, tidak benar-benar memahami "politik" itu sendiri. Jika melihat fenomena polemik di medsos, ada pembelahan-pembelahan yang membuat pembaca, pengamat menyimpulkan " negara sedang tidak baik" ada indikasi perpecahan  ada fenomena munculnya gerakan yang salah menjadi benar dan yang benar diframing salah. Jika yang benar disudutkan dan yang salah terus diframing sebagai kebenaran maka suatu saat "mungkin " negara akan terpecah belah karena perbedaan ideologi antar masyarakat.