Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Lunturnya Budaya dan Agresifitas Media Sosial Menjelang Pemilu

12 Februari 2024   13:37 Diperbarui: 12 Februari 2024   18:18 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Pencoblosan sudah ditentukan tanggal 14 Februari 2024 di dalam negeri. Pemilu dengan segala hirukpikuknya akan segera berakhir. Di era   kemajuan digital media sosial agresif mempengaruhi masyarakat dengan berita berita hoaks. Budaya kesantunanpun luntur dengan munculnya kata kata kasar yang terpampang layar gadget.

Isu-Isu  Kecurangan Berkeliaran

Di media sosial muncul pernyataan tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa pemilu tahun ini termasuk yang paling brutal, sebab seperti ada campurtangan pemerintah untuk mengarahkan pilhan pada paslon tertentu. Mereka yang bicara tentu bukan orang sembarangan, intelektual kampus, dosen, guru besar dan "sivitas akademika."

Penilaian terhadap presiden terutama Jokowi beragam. Bagi yang kecewa pada apa yang dilakukan oleh Jokowi yang dikatakan pengkianat, perusak aturan undang-undang, pelanggar konstitusi dengan menggolkan undang-undang yang membolehkan paslon dengan usia di bawah 40 tahun bisa maju sebagai pejabat dalam hal ini sebagai calon wakil presiden.

Banyak yang kecewa dengan majunya Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo Subianto.  Terutama karena otomatis Jokowi, Gibran, bahkan Kaesang Pangarep dan menantu Jokowi Bobby Nasution yang akhirnya dipecat keanggotaannya oleh PDIP.

Padahal PDIP itu pengusung Jokowi sejak menjadi Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta dan 2 Periode menjadi presiden. Cara politik Jokowi dan keluarganya dinilai kacang lupa kulit. Berkhianat pada yang sejak awal mendukungnya.

Pasti tidak api kalau ada tidak asap. Salah satu hal yang kata media adalah karena Jokowi merasa ia tidak mendapatkan perlakuan layak dan masih dianggap petugas partai padahal kedudukan Jokowi sekarang adalah Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia. PDIP berbalik arah membenci dan selalu menyerang kebijakan Presiden Jokowi, termasuk kebijakan kunjungan ke daerah dan bansos yang dinilai terlalu dipolitisir sebagai bantuan "Jokowi" karena cawe-cawe agar pemilu dimenangkan Prabowo dan anak sulungnya Gibran.

Menulis tanpa Tendensi Memihak

Secara masif PDIP menyerang apapun yang dilakukan Presiden Jokowi. Lalu muncul opini yang di media dan sejumlah pembicaraan di masyarakat bahwa Jokowi mencla-mencle, pagi tempe sore dele, pengkianat partai. Bahkan apapun gerak-gerik Jokowi selalu mendapat penilaian negatif. Bagaimana menurut penulis?

Sampai saat ini penulis sedang tidak membela siapa-siapa. Jokowi sebagai manusia bisa salah dan banyak kelemahannya. Ia tidak bisa menguasai semua bidang termasuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk memberi kesejahteraan secara adil. Kalau ada yang tidak suka dan akhirnya membawa masalah keanehan-keanehan perilaku di masa jabatannya rasanya wajar hampir dirasakan semua pemimpin. Ada suara ketidakpuasan masyarakat, ada yang ingin perubahan, ada yang ingin membangun budaya sopan santun, menjunjung tinggi etika dalam setiap perilaku masyarakat terutama pejabat publik. Nah Presidenlah yang paling disorot.

Jokowi menerima segala hujatan tentang keberpihakan, tentang cawe-cawe, tentang demokratisasi yang masuk ke titik nadir. Termasuk terburuk sebab ternyata yang dilihat selama ini persepsi masyarakat tentang presiden yang merakyat, tulus dan tidak ambisi, seperti berbalik.

Ada yang mengatakan ternyata presiden licik, presiden haus kekuasaan, sampai ditarik gara-gara Megawati tidak merestui berkuasa 3 periode Jokowi ngambek dan memilih bersatu dengan mantan rivalnya di 2019 dan 2014. Kekecewaan bertambah ketika Prabowo ternyata memilih Gibran yang masih junior dalam perpolitikan tanah air. Ada banyak istilah, bocil yang ditujukan pada Gibran. Samsul, dan kata-kata kasar yang melekat dan menjadi viral akibat media sosial memblow upnya.

Kata-kata kasar di media masa, video, televisi itu secara tidak langsung telah mendidik masyarakat nir etik. Semua bicara etika dan akhlak, namun ada hal yang ambigu, saat bicara tentang etika, budaya kata-kata yang terlontar, entah netizen, pembuat status, menunjukkan dirinya juga nir etika, termasuk manusia yang boleh dikatakan tidak ada akhlak juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun