Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Butir-Butir Kerinduan (18)

15 Juni 2022   09:19 Diperbarui: 15 Juni 2022   09:21 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Joko Dwiatmoko

Aku tidak lagi berpaling untuk melihat pengalaman teman-teman, ini tentang diriku, tentang beberapa pengakuan jujur, tentang sikap dan kisah cintaku .  Aku bukan seorang yang mirip  Roy Martin yang amat lihai merayu, gampang dekat dengan perempuan-perempuan cantik. Tapi bisa dibilang kisah cintaku mirip novel roman.

Tetapi bukan berarti aku manusia buruk rupa. Ini penghinaan, sebab bapakku itu bisa dikatakan yang terganteng di lingkungan sekitar dan ibuku dulu adalah bunga desa zaman dulu, tidak mungkin anaknya seperti Joko Periuk yang buruk rupa. Paling tidak dekat dengan Rano Karno, meskipun perawakannya tidak segagah Roy Martin tapi tetap mempesona di mata perempuan.

Yang tidak disuka perempuan terhadapku adalah karena aku cenderung tidak mau diatur, keras kepala dan susah dinasihati. Kalau masalah fisik ya cukuplah modalku untuk bisa memacari perempuan.

Sarjum, Surandi, dan teman-teman lain di desaku. Sebetulnya tahu, aku bisa menjadi don juan, play boy kampung, tapi tidak aku lakukan. Aku itu hidup dengan dunia khayalan. Terlalu asyik dengan diri sendiri, terlalu cuek dan sedikit bisa dikatakan menurut pakar psikolog introvert.

Teman-temanku terbatas. Itu masa kecil. Waktu kecil aku takut gelap karena ketika malam pekat ada bayangan-bayangan makhluk aneh yang sering kulihat. Aku kadang melihat sesuatu seperti dejavu yang baru kutahu artinya ketika sudah besar.

Dalam sebuah mimpi aku seperti pernah merasakan pengalaman berdialog dengan sosok dalam dunia pewayangan, seperti Hanuman, Arjuna, Antasena dan Bima.  Kelebat bayangan sosoknya begitu nyata tercatat dalam memori visual yang melintas saat mimpi.


Herannya pada tempat-tempat tertentu dalam perjalanan menyusuri alam sampai remaja, aku seperti pernah duduk berdiri dan ingatan itu melintas, ini di mana ya sepertinya pernah berdiri dan duduk di sini. Baru kutahu itu namanya dejavu.

Sejak kecil aku lebih senang berkhayal, bertualang menyusur sawah, senang berdialog dengan alam yang kuanggap lebih mengerti daripada teman-teman yang sering sekali membuatku dongkol dan marah.

Masa kecilku benar-benar penakut, maka ketika usia menginjak remaja aku berjanji untuk menguji diri dan mengurangi phobia yang tidak perlu. Ada sebagian yang berhasil termasuk ketakutan pada kegelapan. Suatu ketika nanti aku malah berani duduk sendiri di kuburan.

Mengapa kemampuan melihat hal-hal aneh itu tiba-tiba lenyap. Dulu aku suka bertingkah aneh, berlagak main seperti Gatutkaca, aku ikatkan selendang ibuku di pinggang, melompat ke sungai seakan terbang, apesnya bukannya mulus mendarat, tapi kepalaku terbentur kerikil di derasnya sungai di samping rumah. Darah mengucur. Ketika terbentur aku benar-benar lupa bahwa aku sempat hanyut, tapi menurut orang-orang aku mendapat pertolongan dari Pak Tarno, seorang pencari ikan pelus. Ia membopongku dan menggendongku sampai ke rumah.

Aku sadar ketika di rumah tetapi malu untuk menangis, meskipun perih sebenarnya terasa  kepala di bagian yang terbentur. Sampai sekarang bagian di kepalaku ini jadi pitak. Aku tidak sadar bahwa kemampuan melihat hal-hal aneh itu tidak berbekas sama sekali. Bahkan saat melotot di kuburan angker tetap saja tidak bisa melihat apa-apa meskipun banyak orang yang sering ditampaki hantu dan makhluk halus lain.

Aku lebih senang menyusur alam sendiri, hal yang sangat mengasyikkan hingga memori tentang alam begitu membekas sampai sekarang. Hampir tiap sudut di desaku hapal, termasuk berapa belik, berapa mata air, kolam ikan, gubuk, tempat yang nyaman untuk duduk, sungai-sungai kecil yang menyimpan cerita dan tanaman buah liar yang tumbuh di tebing dan di sepanjang sungai Pabelan. Aku tahu di mana harus rebahan di batu-batu besar yang kadang kalau dimirip-miripkan seperti patung berbentuk Semar, bentuk Petruk.

Aku senang berendam di air bening yang mengalir seperti buih-buih putih. Dan di tepian ada beberapa tumbuhan yang sengaja ditanam petani yaitu slada air, orang sini menamakan jembak. Tanaman yang tumbuh subur di air mengalir. Sering dibuat lalapan atau sayur untuk acara wiwitan  saat petani mulai menanam padi dan sehabis panen.

Lalu bagaimana dengan ketertarikan pada perempuan. Tentu saja aku normal. Sebagai lelaki dan saat remaja aku tertarik pada seseorang, tetapi kadang hasratku menyusur alam jauh lebih besar daripada melakukan pendekatan pada seorang perempuan yang aku taksir.

Jujur aku suka dengan Dita. Ia teman sekelas di SMP rambutnya panjang, mukanya bulat telur, kulit langsat, gigi gingsul. Kalau tersenyum manis sekali. Segala hal tentamgnya aku suka. Masalahnya apakah ia suka dengan diriku. Ia termasuk yang terpandai di kelas, sedangkan diriku, lebih sering kedapatan guru, sedang mendengkur ketika pelajaran Biologi, dan bengong ketika pelajaran matematika. Bukan tidak suka matematika sih tapi terlanjur tidak tertarik. Terus terang aku antusias mendengarkan pelajaran sejarah dan bahasa Indonesia.

Itu pelajaran paling mengasyikkan bagiku. Maka aku akan sangat senang menulis puisi, merangkai kata. Dan kemampuan itu sebetulnya bisa menjadi modal diriku merayu teman-teman perempuanku. Tapi aku tidak mau larut dalam kesenangan mempermainkan hati perempuan.

Cinta yang yang tumbuh pada Dita masih kusimpan, hanya kutulis kata-kata indah di buku tulis. Terkadang ada beberapa temanku minta tolong menuliskan puisi untuk dikirimkan pada perempuan yang dia suka.

"Jago menulis puisi tapi tidak jago merayu perempuan itu konyol namanya. Ndes."

"Belum saatnya, Ed."

"Kalau tidak sekarang kapan hayo..."

"Tunggu tanggal mainnya."

"Ah, kebanyakan teori. Sat-set dong."

"Ah, belum penting... lebih asyik blasakan ke kebun, Seperti cerita tentang lima sekawan karya Enyd Byliton, menyesap udara alam, nah itu yang membuat aku jatuh cinta."

"Lebih asyik dibumbui romantismenya tambah menarik.  Kisah cinta di perbukitan, cinta di balik ilalang. Itu Ndes, aku kasih ide."

"Ed, kok aku nggak kepikiran ya...kalau begitu akan kupikirkan bagaimana mengolaborasikan perasaan cinta pada alam dan cinta pada kekasih..."

"Nah, itu Ndes... kamu itu punya modal tampang lebih dari lumayan, ya sedikit di bawah aku hahaha...tapi kamu banyak kemampuan terutama jago menulis puisi...aku yakin sebenarnya kamu juga jago merayu perempuan. Tapi kamu seperti autis lebih sibuk dengan dirimu sendiri."

"Bicara tentang perempuan aku sebetulnya bukannya tidak pernah naksir, saat ini jujur ada seseorang yang aku suka... tapi .... Kuberitahu nanti siapa yang aku suka."

"Aku tahu seleramu, Ndes!"

"Siapa hayo..."

"Dita...khan!"

Aku kaget kenapa Edi bisa tahu persis perempuan yang aku taksir.

"Kok, kamu tahu...?"

"Memangnya aku tidak memperhatikan ketika kamu mencuri pandang, melihat Dita. Matamu beda saat memandangnya. Kamu tidak bisa bohong...Ayo usaha Ndes. Sat set gitu."

Aku hanya tersenyum. Bagiku masih banyak yang kupikirkan selain mengkhayal tentang perempuan. Aku lebih tertarik bicara tentang fenomena alam, tentang jalan-jalan yang belum pernah kulalui, semakin terjal semakin menantang. Seandainya Dita mau kuajak bertualang mungkin aku akan jatuh cinta benar-benar dengannya.

Apakah aku harus berganti fokus, mengejar cinta baru, kemudian menyalurkan hobi yang banyak menyita waktuku itu.

"Sudahlah, Ndes, kejar dulu cintamu, taklukkan hatinya dahulu baru jujur apa yang kamu sukai."

"Susah ngomongnya Ed...grogi saat ada di depannya mau ngomong apa."

"Lama-lama terbiasa juga."

"Kamu sendiri bagaimana, Ed, sepertinya masalah perempuan pengetahuanmu canggih."

"Teori yang kubaca begitu, Ndes... masalah cinta rupanya aku  kurang beruntung. Perempuan pertama yang kutaksir menolakku mentah-mentah..."

"hahaha.... kamu sendiri belum bisa mempraktikkan, Ed"

"Paling tidak khan sudah usaha, Ndes, daripada kamu terlalu banyak mengkhayal dan blusukan."

"Oke, Ed. Kamu akan mendengar cerita manis tentangku minggu depan."

***

Di bawah pohon kersen, aku sengaja menunggu dia melintas. Aku cukup hapal karena ia suka memetik buahnya. Sudah terkumpul beberapa buah kersen yang aku kantongi di plastik. Semilir angin seperti menerbangkan hawa perempuan yang khas. Juga aroma lembut shampoo yang tertiup angin. Itu pasti dia. Perempuan manis, bergigi gingsul.

Perawakannya cukup tinggi  dibandingkan teman-temannya yang rata-rata mungil. Perawakannya langsing dan sudah mulai terlihat lekuk-lekuk dewasa perempuan yang mulai beranjak remaja. Bagian dada tidak lagi rata, namun sudah mulai muncul terlihat tonjolan yang memperlihatkan bahwa ia sudah tumbuh semakin dewasa. Kadang pikiran yang kotor laki-laki sering membayangkan garis-garis tubuh yang membuat jantung dan gejolak remaja memberontak. Menurut buku psikologi yang pernah kubaca. Normal laki-laki mulai memperhatikan perempuan. Ada bagian-bagian tertentu seperti wajah, bagian dada dan kaki perempuan. Itu spontan naluri normal laki-laki.

Sungguh terlalu kalau laki-laki tidak memperhatikan gerak-gerik perempuan dan juga bagian tubuhnya yang menarik. Bahkan di sekolah tanpa sepengetahuan guru ada beberapa siswa yang sering membawa novel stensilan. Zaman dulu stensilan itu amat terkenal meskipun dijualnya secara diam-diam. Sebetulnya bacaan dewasa, karena ada beberapa halaman yang menggambarkan bagaimana  hubungan antara laki-laki dan perempuan saat sedang memadu kasih.

Any Arrow...banyak remaja yang diam-diam membacanya. Itu kenakalan-kenalan yang tidak terekspos, tapi bahkan ada remaja perempuan pun membacanya diam-diam. Jujur kukatakan aku pernah membacanya dan khayalan terbang pada kata-kata yang muncul di halaman tengah. Ah, masa remaja  rasa penasaran membuat tingkah laku remaja kadang membuat pusing kepala orang tua.

Aku gelagapan ketika Dita sudah ada di depan mata. Kulihat ia berdiri sebentar melihat pohon kersen.

"Sudah tidak perlu repot- repot metiknya. Dit, Nih sudah kupetiki tadi yang merah-merah."

"Ih, Kamu baik banget. Lur."

Di sekolah aku sering dikasih nama alias Kelur. Entah darimana datangnya istilah itu tapi karena keseringan tidur di kelas teman-teman sering memanggilku Kelur. Kalau teman-teman laki-laki sering memanggilku Ndes karena waktu kecil sampai remaja rambutku kubiarkan panjang. Lebih panjang dari teman lainnya, hingga keseringan dipanggil guru.

Aku tersenyum ketika Dita memujiku, sebenarnya ada rasa perasaan malu dan tersipu, apalagi saat mata Dita memandangiku begitu rupa.

"Kamu kenapa memandangku begitu Dit, aku jadi..."

"Jadi apa..."

"jadi sadar bahwa di depan berdiri seorang bidadari."

Giliran Dita yang tampak tersipu. Buru-buru menunduk dan mengalihkan perhatian.

"Ih, gombal kamu Lur."

"Ini Dit, buah taloknya, kamu khan suka memetiknya khan."

"Cie, diam-diam kamu memperhatikan aku ya... jadi GR nih."

"Hehehe, habis kamu itu memang layak diperhatikan sih."

"Eh,eh darimana kamu mendapatkan kata-kata itu, kemarin-kemarin sepertinya kamu lebih suka dengan kegiatanmu, blasakan di kebun dan sungai serta sawah."

"Aku, mulai sadar Dit, perlu keseimbangan. Jadi perlu ada alam yang membuatku jatuh hati, tapi kalau mau adil perlu ada perempuan yang memberi senyum ke daku."

"Siapa yang memberi senyum pada orang autis sepertimu?"

"Tadi kulihat ada bidadari tersenyum, kamu tidak sadar ya..."

"Dih, kamu pasti memberi talok ada maunya. Iya khan."

"Ada maunya?.... enggak ah, aku memancing saja agar  ada bidadari yang mau tersenyum untukku."

"Sudah, dasar penyair katrok. Kalau diteruskan gombalannya bikin merinding disko."

"Tapi kamu suka khan."

Dita melirikku, senyumnya manis sekali. Duh, ketika tersenyum bikin khayalanku melayang jauh menembus dirgantara seperti melihat sepasang dewa yang sering berkasih-kasihan. Kamajaya, Kamaratih, cerita pewayangan memang menarik.

Aku duduk di bawah pohon kersen yang rindang, disampingku Dita yang asyik makan buah talok. Sejenak suasana hening, tidak perlu dibayangkan. Tidak perlu harus mendramatisir seperti film-film romantis. Seperti cintaku di kampus biru atau novel-novel Mira W, atau Eddy D. Iskandar. Aku hanya ingin menggambarkan bahwa kecantikan Dita itu natural. Tidak ada polesan.

"Boleh jujur nggak Dit..aku pengin ngomong tapi hanya kamu yang tahu... kamu mau menerima atau tidak terserah. Tapi aku sih berharap lebih."

"Mau ngomong apa, jangan yang jorok lho kayak di novel stensilan itu."

"Hahahaha.... berarti kamu diam-diam baca ya..."

Muka Dita mendadak merah.

"Ah, sudah ayo kamu mau ngomong apa, Lur."

"Ah, nanti saja...Biar kamu penasaran, kutunggu kamu di Warung Bakso "Mas Gondrong besok siang jam 2."

Bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun