Ah, Preet, mudik itu ajang silaturahmi, ajang pembuktian kerja keras setahun dua tahun. Ini adalah hasil kerja selama di kota. Seperti yang tergambar di televisi, sinetron-sinetron memabukkan. Padahal sesungguhnya, kalau boleh jujur ia akan mengatakan.
"Mbah, aku ini di kota yang penting kerja mau kaki jadi tangan atau tangan jadi kaki, tidak peduli, mau panas-panasan seharian sambil memikul dagangan menawarkan pada mereka yang berlebih uang masa bodoh yang penting uang terkumpul. Mau jumpalitan setelah selama sebulan mengumbar kesombongan yang penting bahagia itu dinikmati. Setelah itu baru jumpalitan lagi, kerja keras lagi.Begitulah hidup."
Randi sadar, dan hati-hati jika menjalin cinta di kota. Bisa-bisa modal yang seharusnya buat pulang kampung amblas hanya dalam semalam. Kalau menuruti gaya hidup di kota. Ia pernah menjalin cinta saat kenalan di Mall . Boleh dikata cantik luar biasa. Cewek-cewek di kampungnya lewat. Ia membayangkan betapa bangganya punya pacar cantik. Pasti orang tuanya bangga.
Ia baru sadar ketika sudah pacaran tiga bulan. Uang gajinya menipis, tidak tersisa untuk ditabung dan dibawa pulang. Hampir setiap hari makan di restoran, atau sekedar nongkrong di Ancol, sambil memesan makanan di restoran terdekat.
Setiap bulan ia menghitung  jumlah uang untuk nraktir Jamilah. Tekor... Ia mesti nyambi ngojek untuk mendapat tambahan, itupun tetap habis.
"Kecantikan ternyata memabukkan. Bukan membahagiakan, hanya kesenangan sesaat."
Randi, memutuskan resign dari pabrik tempatnya bekerja, kembali ke kampung, tidak kuat dengan tuntutan keras kehidupan kota. "Punya pacar cantik, bukannya menguntungkan malah bikin tekor, mending balik sama Darwati, tidak banyak menuntut. Â Ia lebih cantik hatinya daripada wajahnya. Biar muka ndeso tapi hati malaikat. Daripada Jamilah, cantik mempesona tapi memabukkan dan bikin kantong kempes."
Aku bukan membenturkan budaya dan menganggap kota hanya sekumpulan bajingan, tidak semuanya, masih banyak orang baik, banyak yang sosialnya tinggi, menyumbang besar-besaran untuk tempat ibadah di desa. Tetapi banyak juga yang sengaja membuat tempat ibadah, mengeluarkan modal banyak untuk sekedar pansos politik. Menjadi wakil rakyat, memanfaatkan suara orang-orang kecil, setelah itu melupakannya setelah duduk manis sebagai wakil rakyat. Â
Ah, kenapa harus menyinggung tentang politik bikin stres saja, Â bicara tentang kebudayaan, bicara tentang alam, bicara tentang cinta. Intriknya masih bisa dicerna. Kalau politik, hal-hal sederhanapun jadi ruwet.
Mending mengupas butir-butir kerinduan yang tersisa. Aku, kamu kalian toss saja damai damai saja. Tidak usah digubris komentar di medsos. Bikin mrongos, tekor dan los. Lebih senang merajut rindu daripada menghujat fatamorgana, menghitung butir butir rindu yang tersisa. (bersambung)