Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Jokowi dan Barisan Partai Politik yang Cenderung Merecoki Pemerintah

29 Desember 2021   09:30 Diperbarui: 29 Desember 2021   09:52 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sebelum membahas penambahan Wakil Mentri di Kabinet Indonesia Maju perkenankan saya untuk membahas sepak terjang partai politik. Kalau rekan-rekan yang tergabung dalam partai politik tersinggung dan marah membaca artikel opini saya ya sumonggo, Saya hanya melihat dan mengamati bahwa fungsi perwakilan rakyat saat ini cenderung membuat gaduh,  kontribusinya terhadap pembangunan Indonesia masih minim.

Kalau melihat sepak terjang politikus saat ini rasanya saya sebagai masyarakat biasa malas mengikuti pemilu. Waktu pemilu kemarin  jarang mengenal kader politisi yang kredibel.  Mereka aktif turun ke bawah saat sedang membutuhkan, namun setelah terpilih kontribusinya untuk menyaring suara masyarakat kurang. Mungkin saya salah mengamati dan luput melihat gerak kerja mereka, tetapi di saat banyak masalah dalam masyarakat untuk akhir-akhir ini mengapa rakyat cenderung langsung menyampaikan keluhannya kepada presiden.

Kalau partai dan wakil rakyat peka seharusnya merekalah yang lebih dulu menyerap aspirasi masyarakat baru kemudian disampaikan ke pemerintah yang menjadi eksekutor bagi kebijakan publik termasuk penggunaan anggaran belanja negara yang sudah didiskusikan pada para wakil rakyat.

Partai-partai politik lebih sibuk bermanuver untuk meningkatkan elektabilitas, dengan mencoba mengusung tokohnya untuk pemilu mendatang. Mereka sibuk mencari celah, mencoba menggemukkan kabinet dengan wakil-wakil menteri titipan.

Partai-partai baik yang pro pemerintah maupun yang oposisi, lebih senang memainkan politik identitas, lebih melawan arus keinginan rakyat. Sekarang mereka sudah ancang-ancang untuk menaikkan pamor calon presiden. Memasang baliho di mana-mana, melakukan pencitraan lewat media baik mainstream, media elektronik, radio maupun media sosial (facebook, instagram, Twitter). Sibuk memasang bendera di jalan, melakukan konsolidasi pusat daerah untuk menggiring suara yang akan menguntungkan partainya. Sementara ketika sudah menang ya kembali bungkam.

Saat ini partai yang tergabung seringkali melakukan blunder hingga membuat masyarakat sebetulnya kesal. Upaya membuat pemerintahan bersih dengan  menyingkirkan mafia-mafia disegala bidang terbentur oleh ambisi partai yang hendak menghambat upaya pembersihan.

Sebab umum diketahui bahwa dibalik banyaknya mafia yang menyedot anggaran negara pelakunya banyak yang datang dari petinggi partai politik. Mereka terhubung dengan para pengusaha hitam yang di masa lalu ngemplang pajak, mempunyai utang telat bayar dan akhirnya bertumpuk hingga merugikan negara trilyunan rupiah. Saat ditagih banyak alasan bahkan malah balik menyerang upaya positif pemerintah untuk mengembalikan uang yang diembat pengusaha hitam lewat penyitaan aset- asetnya.

Seharusnya wakil rakyat mendukung upaya pemerintah, bukan berusaha menghambat. Partai politik  tidak kaku terhadap tuntutan riil rakyat hanya karena mereka sudah mempunyai kader sendiri untuk dipromosikan dan digadang- gadang menjadi penerus dinasti kekuasaan. Kenyataannya saat ini partai politik seringkali membebani pemerintah dengan titipan- titipan pesanan baik untuk jabatan maupun berusaha  memberi perlindungan bagi kadernya yang menyimpang dan disinyalir melakukan penyelewengan serta korupsi.

Lihat saja para pejabat dari gubernur, bupati maupun jabatan-jabatan strategis yang rawan korupsi, sebagian besar adalah kader partai, sisanya adalah birokrat yang pandai mengutak- atik anggaran.

Mereka yang menjadi pejabat sering menyalahgunakan jabatan. Menjadi sultan (istilah untuk orang kaya raya), memungut biaya investasi, mengeksploitasi alam untuk keuntungan pribadi dan partai. Pengkaderan partai pun kadang berbiaya mahal. Ada mahar- mahar yang harus dibayarkan untuk bisa menduduki jabatan bupati, wakil rakyat, gubernur. Kalaupun partai membantahnya itu adalah bagian dari menutupi fakta yang banyak orang sudah tahu. Maka banyak kader partai yang gagal menjabat seringkali menjadi gila, sebab mereka sudah kehilangan banyak modal untuk biaya promosi,biaya kampanye, mengasih mahar partai yang mengusungnya.

Sampai saat ini saya masih belum percaya 100 persen terhadap sepak terjang partai politik apakah murni berjuang untuk menegakkan hukum dan membawa negara gemilang bersinar di tengah persaingan global, atau mereka tidak lebih hanya berambisi untuk  kekuasaan, kurang peduli terhadap keluhan masyarakat. Kalau yang tersuguh di media, saat mengamati berita-berita yang dilansir media, belum terlihat kader partai gigih berjuang untuk konstitiennya. Tetapi semoga pengamatan saya salah, sebab sudah mulai banyak anggota DPR seperti Deddy Mulyadi yang tampaknya berusaha untuk merubah sistem yang salah yang ada dalam perilaku masyarakat.

 Sekarang memang eranya media sosial para wakil rakyat bisa membuat konten, menunjukkan jati dirinya, bagaimana mereka bisa menyerap aspirasi rakyat, sebab wakil rakyat memang dibayar tinggi untuk mewakili rakyat di parlemen, Dengan gencarnya wakil rakyat menyerap aspirasi konstituennya maka tidak perlu lagi masyarakat menggebu- gebu berkomentar di media sosial minta ini, minta itu, sebab sudah ada wadah yang menampung suara rakyat melalui DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun