Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hoaks, Guru, dan Kegagalan Pendidikan

30 Mei 2019   17:34 Diperbarui: 31 Mei 2019   14:18 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abraham, guru mata pelajaran IPS tengah mengajarkan tentang peta dunia kepada muridnya di SMPN 74, Rawamangun, Jakarta, Selasa (11/8/2015). Abraham banyak menyisipkan tugas praktek ke lapangan kepada muridnya dalam metode mengajar, sehingga siswa dirangsang untuk praktis dan kreatif. Kemdikbud akan membuat kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme guru lewat penilaian kinerja dan kompetensi serta pengembangan keprofesian berkelanjutan.(KOMPAS/RIZA FATHONI)

Saya seorang guru, selama belasan tahun hidup bekerja dalam lingkup pendidikan dan sebelumnya sejak lahir di dunia hampir 49 tahun lalu tahu hidup sebagai anak guru, cucu seorang guru dan bahkan buyut sayapun guru. 

Otomatis sejak penjajahan keluarga saya memang sudah mempunyai "gen" guru. Kakek seorang mantri guru atau katakanlah kepala sekolah zaman Soekarno, Ayah seorang guru, kepala sekolah dan pensiun sebagai pengawas sekolah. 

Ibu saya juga guru adik saya juga guru, komplit sudah bahwa latar belakang guru memang mendarah daging. Kekayaan terbesar di rumah adalah buku-buku. Untuk itu sejak kecil saya sudah mengenal Kompas dan Intisari. Kakek saya mempunyai buku-buku berbahasa Belanda, nenek saya mahir bahasa Belanda.

Mengingat Tentang Suka duka Orangtua Guru

Kalau saya menulis tentang guru tentu tidak akan sulit, tetapi apakah sebagai anak guru otomatis saya mempunyai bibit sebagai guru yang baik? Saya katakan bahwa saya sebetulnya tidak pernah mempunyai cita-cita sebagai guru. 

Sejak awal saya mengenal buku dan dari buku itu sudah terbayang saya akan hidup sebagai penulis atau wartawan. Tapi ternyata saya tidak cukup mampu dan mempunyai mental cukup untuk menjadi wartawan. 

Akhirnya saya kembali terdampar sebagai guru dan saya menikmatinya sampai sekarang. Lalu apa hubungannya dengan judul yang saya buat, "Hoaks, Guru, dan Kegagalan Pendidikan?"

Sejak belajar di IKIP saya sudah merasa bahwa pendidikan guru bukanlah pilihan pertama. Pendidikan guru itu bukan tujuan utama anak SMA atau kejuruan. 

Alasan pertama karena meskipun pegawai negeri betapa susahnya hidup sebagai guru (Ketika masih kecil bahkan setiap bulan orangtua selalu minus gajinya untuk menanggung utang- utang setiap bulan. Untung saja hidup di desa jadi makan keseharian bisa ditutup dengan hasil pertanian, cukup untuk memenuhi kebutuhan untuk makan sebulan). 

Guru dengan pekerjaan seabreg tidak bisa mengandalkan gaji untuk makan sehari- hari. Padahal guru adalah pekerjaan yang paling dekat dengan pembentukan karakter, mengarahkan siswa untuk menjadi cerdas bukan hanya cerdas pikiran namun juga cerdas rohani.

Nasional kompas.com
Nasional kompas.com
Guru dan Pendidikan Karakter

Salah satu fungsi pendidikan adalah mendidik siswa menjadi manusia yang berbudi luhur. Sebagai pelajar yang melek huruf diharapkan siswa bisa belajar dari bahan bacaan yang selalu ditemui di sekolah. Dalam buku pelajaran di samping utamanya adalah bersifat ilmu pengetahuan tentu ada nilai-nilai kebaikan yang bisa disisipkan pada setiap mata pelajaran. 

Matematika mengajarkan berpikir logis dengan disiplin menggunakan rumus dan logika untuk memecahkan persoalan. Bahasa Inggris mengajarkan siswa mengenal bahasa asing, bahasa internasional yang berfungsi sebagai sebagai komunikasi juga mempermudah menyerap ilmu pengetahuan di kancah internasional. 

Jika menguasai bahasa Inggris banyak yang bisa dilakukan, selain bisa berdialog dengan turis Eropa atau Amerika yang kesehariannya sering menggunakan bahasa Inggris. Di samping itu, buku-buku literasi banyak yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional.

Penulis ketika mengantarkan siswa ke Museum Geologi di Bandung (salah satu cara untuk mengenalkan penghargaan pada peninggalan sejarah dan kekayaan alam Indonesia (Dokumen pribadi)
Penulis ketika mengantarkan siswa ke Museum Geologi di Bandung (salah satu cara untuk mengenalkan penghargaan pada peninggalan sejarah dan kekayaan alam Indonesia (Dokumen pribadi)
Siswa juga harus mengenal bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia penting untuk mengenal kaidah berbahasa Indonesia yang benar. Dengan mengenal bahasa Indonesia, siswa bisa menggunakan bahasa Indonesia untuk pergaulan dan tentu menghindari kata-kata kasar digunakan siswa sehari- hari. 

Jika menguasai Bahasa Indonesia akan banyak manfaat yang bisa digunakan antara lain untuk membuat cerpen, artikel, puisi, tulisan ilmiah, membuat penemuan- penemuan teroritis yang bisa diinformasikan lewat buku,

Begitu juga dengan pengetahuan tentang alam/fisika biologi, sejarah, ekonomi akuntansi, prakarya dan seni budaya. Pendidikan amat penting karena akan membentuk benteng karakter dan bertambahnya pengetahuan yang bisa digunakan untuk membangun bangsa mencerdaskan pikiran dan tentu tidak langsung percaya pada narasi sekilas di media sosial saat ini.

Guru adalah kunci keberhasilan. Ketika pengetahuan sangat gampang diperoleh lewat internet, google search, sekali ngeklik maka akan muncul pengetahuan baru. Tinggal membaca dan mencernanya. Tetapi guru harus memberi pendampingan pada para siswa untuk tidak menelan mentah- mentah informasi yang masuk. Harus menunggu dan mencari alternatif informasi yang lebih valid. Sebab banyak informasi sekarang seringkali hanya mengandung status "dugaan" ketika dicek, ternyata hanya berita halusinasi, berita hoaKS yang tidak bisa dibuktikan validitasnya.

Ketika Oknum Guru Terlibat dalam Penyebaran Hoax

Tetapi yang memprihatinkan ialah ketika guru ikut membuat status dan cuitan kasar yang ditujukan untuk seorang pemimpin, atau elite politik. Apa yang akan dipetik dari seorang guru jika guru saja juga menjadi salah satu penyebar hoaks?

Ingatan saya tertuju pada isu tentang 7 Kontainer surat suara yang tercoblos. Oknum guru (MIK) itu seorang guru SMP di Cilegon telah melanggar pasal 28 ayat 2 jo pasal 185 ayat 2 UU ITE, sebelumnya juga ada oknum bernama Himma Dewiyana Lubis (dosen) yang menyebarkan hoaks bom Surabaya hanyalah sebagai pengalihan isu terkait pilpres.

tersangka (MIK)guru penyebar berita hoax 7 kontainer (rtibunnews.com)
tersangka (MIK)guru penyebar berita hoax 7 kontainer (rtibunnews.com)
Pendidikan gagal mengajarkan sopan dalam berbicara, suka memotong pembicaraan, berbicara bohong, bicara tanpa sumber yang benar. Jika seorang guru saja sering mengunggah ujaran kebencian maka murid-murid mendapat role model yang membuat pendidikan karut marut.

Seorang guru harus hati-hati menulis, membuat status tentang kasus ujaran kebencian sebab jejak digital barangkali juga menjadi konsumsi publik. 

Di era modern ini ratusan juta orang menjadi pengguna gadget. Dari sekian juta itu tentu ada yang membaca karya seorang guru. Jika guru terlalu mengumbar kata-kata kasar bagaimana muridnya?

Jadi bukan hal mudah berprofesi sebagai guru. Setiap kata yang keluar dari guru bisa mengukur kualitas guru. Sekali salah ucap dan berkata out of context, atau keluar jalur dan dinilai provokatif, tentu akan membuat rugi baik sekolah, lingkungan dekat sekolah dan orangtua mereka sendiri.

Guru, Karakter, dan Kegagalan Pendidikan

Guru menjadi motor perubahan, mengubah siswa ibaratnya kertas kosong menjadi penuh coretan, penuh ilmu. Dalam perjalan kehidupan, bisa jadi siswa menjadi lebih cerdas dan lebih berilmu dari gurunya. Banyak yang sudah menjadi profesor doktor, presiden, ketua MPR, DPR sedangkan guru masih hidup dengan rumah bersahaja. 

Terkadang mereka lupa tetapi banyak yang masih ingat akan jasa guru. Ketika muridnya terkenal karena kasus korupsi dan sering muncul di pemberitaan karena menjadi penyebar hoaks tentu rasanya pedih. Guru merasa gagal mendidik karakternya, mendidik akhlaknya. 

Secara karir dan kecerdasan banyak doktor dan elite politik sukses tetapi ada yang hilang dari esensi pendidikan dasar yaitu moral yang sejak awal sebetulnya ditanamkan kepada muridnya. Mencontek, memanipulasi nilai, menyogok guru agar nilainya bagus meskipun capaian pembelajar sebenarnya tidak sampai. 

Kadang guru dalam keterbatasan menjadi iba ketika segepok uang hadir di depan matanya. Murid dan orangtuanya mengajarkan untuk menempuh jalan salah dan ada beberapa guru tidak kuat menahan derita dengan kecilnya gaji yang diperoleh.

Itulah penting mendidik sumber daya manusia sejak kecil agar ketika besar dan sudah terjun dalam dunia nyata ada pegangan dasar yang tetap diingat seseorang. Kejujuran, keiklasan untuk menerima kekalahan, tidak jumawa dan mabuk saat menang. 

Ada banyak petuah dari berbagai suku bahwa adab, kesatria, legowo, rendah hati adalah kunci bagi manusia untuk menjadi manusia yang teguh pendirian meskipun badai menerpa, termasuk berita berita bohong yang masif di era medsos sekarang ini.

Saya seorang guru pun masih sering kadang membiarkan kecurangan hadir dalam laku para siswa. Sebagai guru kadang lupa mengingatkan arti sebuah kejujuran bahkan kadang secara sengaja sering memperlihatkan perilaku jelek di hadapan siswa. 

Semogo guru- guru di Indonesia kembali merapatkan barisan membentengi siswa untuk tidak larut menyebarkan narasi kebencian dan menyebarkan berita bohong. Semoga. Agar Indonesia bisa menyambut masa depan dengan kekuatan utuh, sebab setiap negara pasti akan berusaha keras menjadi yang terbaik. Salam damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun