Rafa pun mendekat ke meja Olin dan menyerahkan fotonya pada Pak Pur. Sementara, Olin hanya bisa tertunduk. Jantungnya berdetak lebih kencang menyadari Rafa ada di dekat Pak Pur dan bisa melihat lukisannya.
"Olin, coba amati foto Rafa dan fotomu, kemudian lihat lukisanmu. Lebih mirip siapa?" kata Pak Pur.
Olin menerima foto Rafa yang disodorkan Pak Pur. Dengan rasa jengah ia mulai mengamati foto cowok yang belakangan ini memenuhi kepalanya. Kemudian ia beralih melihat fotonya sendiri, lalu membandingkan dengan lukisannya.
Betapa terkejutnya Olin mengetahui kebenaran pendapat Pak Pur dan Trias. Lukisan portrait pada kertas gambarnya memang lebih mirip Rafa ketimbang dirinya.
Kok bisa ya? Duh, jangan-jangan benar kata Mondang! Memang selama melukis tadi aku selalu mencuri-curi pandang ke arah Rafa, sedang di kepalaku pun penuh bayangan si jago basket itu. Duh, jadi ketahuan deh! Batin Olin berkecamuk.
"Lin, elo naksir Rafa ya?" teriak Vera yang duduk di seberangnya.
Suara Vera yang cukup kencang sontak membuat kelas riuh rendah. Beberapa cowok mulai bersiul-siul, sedangkan cewek-cewek bertepuk tangan sambil berteriak menggoda.
"Cie...cie... Olin!"
"Eh, Rafa kan naksir elo juga," teriak yang lain.
Bukan malu, Rafa malah nyengir kuda. Lantas dibuatnya selebrasi seperti kalau berhasil memasukkan bola dari titik tiga angka.
"Semua diam!" teriak Pak Pur tegas hingga membuat kelas senyap dalam sekejap.