Mohon tunggu...
Dwi TiaraNurfadia
Dwi TiaraNurfadia Mohon Tunggu... Mahasiswi Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya

konten berbau Psikologi manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

BULLYING: Luka yang Tak Terlihat, Dampak yang Tak Terhapus

10 Oktober 2025   21:20 Diperbarui: 10 Oktober 2025   21:11 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di balik tawa dan canda anak remaja di sekolah, di balik unggahan media social yang tampak biasa saja, tersimpan kisah pilu dari mereka yang menjadi korban bulliying. Istilah ini kini bukan lagi asing bagi masyarakat. Hampir setiap orang, entah sebagai pelaku, korban, atau saksi, pernah bersinggungan dengan perilaku perundungan dalam kehidupan sosialnya. Bullying bukan sekedar ejekan atau candaan yang kelewatan, ia adalah bentuk kekerasan psikologis dan social yang meninggalkan luka batin mendalam dan dapat membentuk kepribadian seseorang di masa depan.

Bullying sendiri adalah salah satu bentuk penyimpangan perilaku yang melanggar nilai dan norma social. Dalam konteks modern sendiri, bullying bukan hanya terjadi di lingkungan sekolah, tetapi juga dunia kerja, masyarakat, ruang digital, bahkan lingkungan keluarga. Ia berkembang seiring kemajuan teknologi dan perubahan cara manusia berinteraksi.

Bullying berasal dari kata bully, yang artinya penggertak atau orang yang suka menindas. Menurut Dan Olwes (1993) bullying adalah tindakan negative yang dilakukan secara berulang oleh satu atau lebih individu terhadap orang lain yang lebih lemah, baik dalam bentuk fisik, verbal, mental, maupun sosial dengan tujuan untuk menyakiti atau menimbulkan penderitaan.

Bullying memang tidak selalu meninggalkan luka fisik, tetapi sering menimbulakan luka psikologis yang lebih dalam dan bertahan lama. Rasa takut, malu, rendah diri, bahkan depresi, seringkali dialami oleh korban. Beberapa kasus ekstrem bahkan berujung pada tindakan mengakhiri hidup karena korban merasa tidak memiliki jalan keluar dari tekanan social yang mereka alami.

Perilaku bullying tidak muncul begitu saja, ia lahir dari kombinasi factor individu, social, dan budaya. Secara psikologis, pelaku bullying seringkali memiliki rasa tidak aman (insecurity), trauma masa kecil, atau kebutuhan untuk diakui dan dihormati. Dengan menindas orang lain, pelaku merasa memperoleh kakuasaan dan control.

Sementara dari sisi social, budaya kompetitif yang menilai seseorang dari status, penampilan, atau kekayaan, membuat bullying menjadi alat untuk mempertahankan posisi social. Di sekolah misalnya, siswa yang dianggap "berbeda" entah karena fisik, agama, gaya hidup, atau ekonomi, seringkali dijadikan sasaran. Norma social yang permisif terhadap kekerasan juga memperburuk keadaan. Banyak yang masih menganggap perudungan sebagai "hal biasa", "proses pendewasaan", atau "ujian mental".

Dalam konteks yang lebih luas, media dan internet juga berperan besar. Tayangan kekerasan, konten penghinaan, atau komentar negative yang viral di media social menormalisasikan perilaku agresif tersebut. Fenomena ini disebut sebagai efek medeling, di mana individu meniru perilaku yang sering ia lihat dan terima secara social.

Psikolog Albert Bandura menjelaskan dalam Social Learning Theory bahwa perilaku seseorang terbentuk melalui observasi dan imitasi. Jika anak melihat perilaku kekerasan di rumah, sekolah, atau media, ia akan berpotensi menirunya. Dalam konteks bullying, ketika pelaku melihat orang lain mendapatkan pujian karena berani mengejek atau menindas, ia akan menganggap hal itu "normal" dan layak dicontoh.

Bullying meninggalkan luka yang jauh lebih dalam daripada sekedar memar fisik. Dampaknya bisa berlangsung seumur hidup. Bagi korban, bullying menyebabkan trauma psikologis, kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD). Mereka sering kehilangan rasa percaya diri dan menarik diri dari lingkungan sosial. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan kualitas hidup, prestasi akademik, dan kemampuan menjalin hubungan sosial yang sehat.

Bagi pelaku, dampaknya tak kalah serius. Anak yang terbiasa melakukan kekerasan berisiko menjadi pelaku kriminal, penyalahguna narkoba, atau pelaku kekerasan rumah tangga di masa dewasa. Sedangkan bagi masyarakat, bullying merusak nilai solidaritas sosial dan menciptakan budaya ketakutan serta apatis.

Mengatasi bullying tidak bisa hanya dengan menghukum pelaku. Diperlukan pendekatan yang menyentuh akar masalahnya mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Setiap elemen sekolah guru, siswa, staf, dan orang tua harus terlibat dalam menciptakan budaya yang aman dan inklusif. Guru berperan aktif mengawasi perilaku siswa, sementara siswa diajarkan untuk berani melaporkan dan menolak kekerasan.

Anak-anak juga perlu diajarkan untuk memahami perasaan orang lain. Program seperti "Empathy Class" di beberapa sekolah dunia terbukti efektif menurunkan tingkat bullying karena siswa belajar memahami dampak emosional dari tindakan mereka. Di era media sosial, penting juga menanamkan kesadaran tentang etika digital. Remaja perlu belajar bahwa komentar kasar atau hinaan di dunia maya bisa melukai secara nyata. Kampanye seperti #StopBullyingOnline yang diinisiasi oleh UNICEF menjadi contoh gerakan positif dalam literasi digital.

Bullying bukan sekadar "anak-anak yang belum dewasa", tetapi fenomena sosial yang mencerminkan krisis empati dalam masyarakat modern. Ia tumbuh subur ketika manusia kehilangan kepekaan terhadap penderitaan orang lain. Karena itu, mengakhiri bullying bukan hanya tugas sekolah atau orang tua, melainkan tanggung jawab kita semua sebagai manusia yang beradab.

Setiap kata kasar yang kita ucapkan, setiap tawa saat melihat orang lain dipermalukan, adalah bagian dari rantai kekerasan yang memperkuat budaya perundungan. Namun rantai itu bisa diputus melalui empati, kepedulian, dan keberanian untuk membela yang lemah.

Bullying mungkin tampak kecil, tapi dampaknya besar. Ia bisa menghancurkan mimpi, masa depan, bahkan hidup seseorang. Maka, mulai hari ini, mari kita jadikan dunia baik nyata maupun digital sebagai ruang aman bagi semua orang untuk tumbuh tanpa takut, tanpa ejekan, dan tanpa luka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun