Anak-anak juga perlu diajarkan untuk memahami perasaan orang lain. Program seperti "Empathy Class" di beberapa sekolah dunia terbukti efektif menurunkan tingkat bullying karena siswa belajar memahami dampak emosional dari tindakan mereka. Di era media sosial, penting juga menanamkan kesadaran tentang etika digital. Remaja perlu belajar bahwa komentar kasar atau hinaan di dunia maya bisa melukai secara nyata. Kampanye seperti #StopBullyingOnline yang diinisiasi oleh UNICEF menjadi contoh gerakan positif dalam literasi digital.
Bullying bukan sekadar "anak-anak yang belum dewasa", tetapi fenomena sosial yang mencerminkan krisis empati dalam masyarakat modern. Ia tumbuh subur ketika manusia kehilangan kepekaan terhadap penderitaan orang lain. Karena itu, mengakhiri bullying bukan hanya tugas sekolah atau orang tua, melainkan tanggung jawab kita semua sebagai manusia yang beradab.
Setiap kata kasar yang kita ucapkan, setiap tawa saat melihat orang lain dipermalukan, adalah bagian dari rantai kekerasan yang memperkuat budaya perundungan. Namun rantai itu bisa diputus melalui empati, kepedulian, dan keberanian untuk membela yang lemah.
Bullying mungkin tampak kecil, tapi dampaknya besar. Ia bisa menghancurkan mimpi, masa depan, bahkan hidup seseorang. Maka, mulai hari ini, mari kita jadikan dunia baik nyata maupun digital sebagai ruang aman bagi semua orang untuk tumbuh tanpa takut, tanpa ejekan, dan tanpa luka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI