Di balik tawa dan canda anak remaja di sekolah, di balik unggahan media social yang tampak biasa saja, tersimpan kisah pilu dari mereka yang menjadi korban bulliying. Istilah ini kini bukan lagi asing bagi masyarakat. Hampir setiap orang, entah sebagai pelaku, korban, atau saksi, pernah bersinggungan dengan perilaku perundungan dalam kehidupan sosialnya. Bullying bukan sekedar ejekan atau candaan yang kelewatan, ia adalah bentuk kekerasan psikologis dan social yang meninggalkan luka batin mendalam dan dapat membentuk kepribadian seseorang di masa depan.
Bullying sendiri adalah salah satu bentuk penyimpangan perilaku yang melanggar nilai dan norma social. Dalam konteks modern sendiri, bullying bukan hanya terjadi di lingkungan sekolah, tetapi juga dunia kerja, masyarakat, ruang digital, bahkan lingkungan keluarga. Ia berkembang seiring kemajuan teknologi dan perubahan cara manusia berinteraksi.
Bullying berasal dari kata bully, yang artinya penggertak atau orang yang suka menindas. Menurut Dan Olwes (1993) bullying adalah tindakan negative yang dilakukan secara berulang oleh satu atau lebih individu terhadap orang lain yang lebih lemah, baik dalam bentuk fisik, verbal, mental, maupun sosial dengan tujuan untuk menyakiti atau menimbulkan penderitaan.
Bullying memang tidak selalu meninggalkan luka fisik, tetapi sering menimbulakan luka psikologis yang lebih dalam dan bertahan lama. Rasa takut, malu, rendah diri, bahkan depresi, seringkali dialami oleh korban. Beberapa kasus ekstrem bahkan berujung pada tindakan mengakhiri hidup karena korban merasa tidak memiliki jalan keluar dari tekanan social yang mereka alami.
Perilaku bullying tidak muncul begitu saja, ia lahir dari kombinasi factor individu, social, dan budaya. Secara psikologis, pelaku bullying seringkali memiliki rasa tidak aman (insecurity), trauma masa kecil, atau kebutuhan untuk diakui dan dihormati. Dengan menindas orang lain, pelaku merasa memperoleh kakuasaan dan control.
Sementara dari sisi social, budaya kompetitif yang menilai seseorang dari status, penampilan, atau kekayaan, membuat bullying menjadi alat untuk mempertahankan posisi social. Di sekolah misalnya, siswa yang dianggap "berbeda" entah karena fisik, agama, gaya hidup, atau ekonomi, seringkali dijadikan sasaran. Norma social yang permisif terhadap kekerasan juga memperburuk keadaan. Banyak yang masih menganggap perudungan sebagai "hal biasa", "proses pendewasaan", atau "ujian mental".
Dalam konteks yang lebih luas, media dan internet juga berperan besar. Tayangan kekerasan, konten penghinaan, atau komentar negative yang viral di media social menormalisasikan perilaku agresif tersebut. Fenomena ini disebut sebagai efek medeling, di mana individu meniru perilaku yang sering ia lihat dan terima secara social.
Psikolog Albert Bandura menjelaskan dalam Social Learning Theory bahwa perilaku seseorang terbentuk melalui observasi dan imitasi. Jika anak melihat perilaku kekerasan di rumah, sekolah, atau media, ia akan berpotensi menirunya. Dalam konteks bullying, ketika pelaku melihat orang lain mendapatkan pujian karena berani mengejek atau menindas, ia akan menganggap hal itu "normal" dan layak dicontoh.
Bullying meninggalkan luka yang jauh lebih dalam daripada sekedar memar fisik. Dampaknya bisa berlangsung seumur hidup. Bagi korban, bullying menyebabkan trauma psikologis, kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD). Mereka sering kehilangan rasa percaya diri dan menarik diri dari lingkungan sosial. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan kualitas hidup, prestasi akademik, dan kemampuan menjalin hubungan sosial yang sehat.
Bagi pelaku, dampaknya tak kalah serius. Anak yang terbiasa melakukan kekerasan berisiko menjadi pelaku kriminal, penyalahguna narkoba, atau pelaku kekerasan rumah tangga di masa dewasa. Sedangkan bagi masyarakat, bullying merusak nilai solidaritas sosial dan menciptakan budaya ketakutan serta apatis.
Mengatasi bullying tidak bisa hanya dengan menghukum pelaku. Diperlukan pendekatan yang menyentuh akar masalahnya mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Setiap elemen sekolah guru, siswa, staf, dan orang tua harus terlibat dalam menciptakan budaya yang aman dan inklusif. Guru berperan aktif mengawasi perilaku siswa, sementara siswa diajarkan untuk berani melaporkan dan menolak kekerasan.