Mohon tunggu...
Liese Alfha
Liese Alfha Mohon Tunggu... Dokter - ❤

Bermanfaat bagi sesama Menjadi yang terbaik untuk keluarga

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerber-Luka (Bagian 2)

18 Mei 2018   11:15 Diperbarui: 18 Mei 2018   11:24 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BAB II

Bersenang-senanglah, karna hari ini yang akan kita rindukan

Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan

Bersenang-senanglah, karna waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua

Kelas aesculap riuh rendah, suara tawa menjalar dari kursi belakang, lama-lama ke kursi depan. Kami di barisan kedua yang kebingungan, mulai mengetahui sebab musabab suara tawa teman sekelas. Kami geleng-geleng kepala membaca pesan berantai dari teman di bangku belakang.

"Gila banget, Wahyu. Haha, mau cari mati kali ya." Ujar Nadine menanggapi pesan dari kertas yang dibacanya.

"Tunggu aja pas praktikum nanti, disuruh cium cadaver beneran sama dr. Azhar baru tahu." Timpal Siska.

"Eh tapi, kasian juga kali Fedly. Tega ih Rani." Almira bersimpati.

"Biarin ah, biar jera. Sok oke banget sih." Kata Suci ketus. Korban masa lalu Fedly.

Fedly salah satu cowok FK yang memang terkenal sok oke sih. Awal-awal perkuliahan, sebelum tahu sifat aslinya, beberapa cewek berhasil dia pikat. Yah, untuk ukuran cowok, Fedly bukanlah golongan cowok yang bisa digila-gilai banyak wanita. Tapi, karena mulut rayuannya yang bikin klepek-klepek, ada saja wanita yang temakan rayuannya hingga kemudian ketahuan belangnya.

Aku menoleh ke belakang ke arah kursi Fedly. Dia sedang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, mukanya cemas, sesekali berdiri melongok keluar jendela kemudian melotot tajam ke arah Fifi.

"Apa lo.." kata Fifi balas melotot.

"Kena batunya si Fedly, ya, akhirnya" gatel juga gak ikut berkomentar.

"Bentar lagi praktikum anatomi, kita taruhan yuk, Fedly izin apa gak?" kata Siska ikut-ikutan menulis kertas pesan berantai untuk disebar kembali.

Dosen Patologi Anatomi sepertinya terlambat sekali datang, sudah setengah jam lewat dari jadwal perkuliahan. Momen yang jarang sekali ini dimanfaatkan sekali oleh teman-teman untuk mengolok-ngolok Fedly.

"Siap-siap, Fed. Tunjukkan pesonamu." Ujar Rasyid disambut gelak tawa teman-teman sekelas.

"Udah dong.." kata Fedly memelas. "Kalian apaan sih?! Kan aku cuma main-main aja. Fi, please.. Kamu bohongkan mem-forward sms aku ke dr. Azhar?" tanya Fedly ke Fifi yang disambut sorakan teman-teman.

"Ah cemen luu.." kata Boim kemudian. Gelak tawa masih terdengar.

"Kasihan ih si Fedly. Udahlah.." aku berusaha menyela demi tidak meneruskan bullying ke Fedly. Rasanya sudah cukup semua teman-teman, terutama cewek-cewek tahu mulut manisnya Fedly agar gak ada lagi yang jadi korban.

"Ah, Nina gak asik ih.." kata Siska disambut gumaman setuju.

Fedly duduk lemas di kursinya. Fifi sepertinya juga tidak tega melihat ekspresi Fedly. Namun, nampak jelas kalau Fifi ingin memberi pelajaran ke Fedly.

"Makanya Fed. Jangan dipikir semua wanita bisa ditaklukan dengan mulut manis mu itu. Hargai dong wanita." Kata Fifi tanpa menoleh ke arah Fedly.

"Sorry, Fi." Kata Fedly lirih.

"Jangan cuma ke aku dong, minta maafnya. Ke semua wanita yang pernah kamu kirimin sms-sms rayuan plus janji-janji muluk kamu." Kata Fifi dijawab sorak setuju dari barisan wanita.

Tanpa komando, Fedly turun dari lantai ke depan kelas. " aku minta maaf ya, teman-teman. Terutama Suci, Lia juga. Feni maaf ya, Fen. Siapa lagi ya. Hmm.."

"uuuuu..." bola-bola kertas dilemparkan ke arah Fedly.

"Sudah, sudah." Rasyid menenangkan kelas. "Oke, fren. Janganlah diulangi lagi kerjaanmu ini ya. Jangan bikin malu angkatanlah, belum lagi nanti kalau jurus rayuanmu kau lemparkan ke adik-adik tingkat kita." Rasyid menepuk bahu Fedly.

"Janji kamu bakalan cium cadaver kalau sampe Fifi nolak kamu masih berlaku, ya. Tapi tenang, sms kamu gak diforward ke dr. Azhar kok. Kita masih kasian kok ke kamu." Teman-teman sekelas tertawa kompak.

"Mortui vivos doscent. Ingat kan? Itu kata-kata pertama yang kita dapatkan saat ospek dulu." Kata Rasyid yang langsung membuat kelas terdiam hening

"Yang hidup belajar dari yang sudah mendahului kita" Jawab Fedly kemudian sambil terus menunduk.

Yah, tidak pantas rasanya menjadikan "dosen" jadi bahan taruhan. Sedangkan dengan dosen sebenarnya saja kita sangat hormat. Harusnya penghormatan yang sama kita berikan kepada cadaver.

Hari itu dosen patologi anatomi batal masuk, kodik akhirnya mendapat konfirmasi kalau beliau mengalami insiden pecah ban di jalan menuju kampus.

***

"Susun formasi. Nin, lo di depan. Biar nanti gua di belakang. Itu jawaban jangan ditutup-tutupin ya. Angkat kalo sudah selesai di jawab" atur Rafika, ketua gang supergirl di SMA Bakti Nusantara.

"Gak janji deh, susah kalau Fisika. Ketahuan, mampus aku." Aku beralasan. Kemudian dibales pelototan mata Rafika yang memang sudah besar awalnya bertambah besar.

"Pelit lo. Selama ini aman aja kok." Rafika maju membuat aku tersudut ke dinding kelas.

"Iya, aman. Kalau ketahuan, gimana?" Aku masih membela diri, berani menatap matanya. Yang kali ini tatapannya seperti hendak menelan bulat-bulat tubuhku yang tidak lebih dari sebahunya.

"Gak mau tahu. Kasih contekan atau lo bakalan gak aman sekolah disini lagi." Ancam Rafika.

"Fik, udah kali. Kalau Nina gak mau ya udah. Tuh, si Dayat masih bisa." Fadlan menunjuk ke arah Dayat yang sekonyong-konyong kaget dijadikan sasaran sumber contekan.

"Eh, enak aja kalian." Seru Dayat.

"Ah, banyak bacot.." tepis Rafika sembari menggeser tempat duduk ke arah posisi Dayat.

"Rafika keterlaluan!" batinku.

Ujian Fisika berjalan lancar. Pak Ismail tidak mendapati anak-anak mencontek ataupun mengepek, setidaknya itu yang Pak Ismail tahu. Tapi di bangku sebarisan Dayat, kunci jawaban persis sama dari depan ke belakang, hingga ke sayap kanan dari bangku Dayat.

Rafika membuktikan omongannya untuk membuat sulit diriku di sekolah ini. Sehabis jam istirahat sekolah, dari kantin aku langsung masuk ke kelas, di dalam tas ranselku sudah ada kodok. Pas aku buka kodok itu langsung melompat hampir mengenai wajahku. Seisi kelas tertawa melihat aku setengah mati ketakutan.

"Fik, aku tahu ini kerjaan kamu, ya. Aku laporin ke wali kelas, ya." Aku mengancam.

"Mana buktinya kalau gua yang narok di tas lo, heh!" Rafika tidak bergeming. Aku kembali ke bangkuku.

"Udah gak usah diladenin." Bisik Fadlan dari belakang. Tidak ku gubris. "sekomplotan kok." Kataku dalam hati.

Sepanjang sisa hari itu aku diliputi rasa kesal karena kejadian kodok tadi. Agak kurang konsentrasi memperhatikan pelajaran Kimia. Padahal pelajaran ini salah satu favoritku. Buku coretan puisi yang aku selipkan di antara buku panduan kimia sudah hampir penuh satu halaman bolak-balik.

"Ada yang tahu jawaban dari persoalan di papan tulis ini?" kelas mendadak hening. Aku masih terus berkutat dengan coretan-coretan puisi tadi tanpa mendengarkan yang dikatakan bu Nuning.

"Nina?!" entah berapa kali bu Nuning memanggil namaku, hingga akhirnya Fadlan menepuk pundakku.

"Apa!!" aku melotot kearahnya.

"Buu Nuning manggil lo." Fadlan setengah berbisik.

Ketika aku menoleh, bu Nuning sudah ada di sampingku. "Eh.. Anu, bu. Hmm. Maaf" kataku gagap sembari terus menunduk ke ubin kelas.

"Kamu sedari tadi ibu perhatikan tidak memperhatikan apa yang ibu sampaikan." Kata bu Nuning menyelidik. "gak biasanya." Lanjut bu Nuning.

"Biasa bu, sok pintar jadi gak perlu merhatiin pelajaran lagi." Rafika menimpali.

"Eh, apaan sih Fik?!" kataku meninggi. Dibalas tatapan menantang dari Rafika.

"Sudah-sudah." Kata bu Nuning melerai. Bu Nuning menyodorkan kapur tulis kepadaku. "Kerjakan soal di depan." Aku maju ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun