Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perhatian untuk Demokrasi di Sumut

8 Mei 2018   16:19 Diperbarui: 8 Mei 2018   18:44 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Orang Indonesia itu pendek ingatan, susah mengingat hal-hal yang jauh secara ruang maupun waktu. Jangankan mau menyimpan ingatan akan sejarah bangsa-bangsa di belahan dunia lain, membuka catatan masa lalu bangsa sendiri saja enggan. Padahal, kata Milan Kundera, perjuangan melawan kekuasaan itu adalah perjuangan ingatan melawan lupa. Tanpa ingatan yang kuat, susahlah kita bersikap kritis terhadap kekuasaan, baik kekuasaan itu masih dalam bentuk rintisan maupun setelah menjelma menjadi status quo.

Adolf Hitler itu adalah pemimpin otoriter nan keji. Itu saja yang diingat para pemburu informasi permukaan. Padalah Hitler dengan partai Nazi-nya adalah pemenang Pemilu yang dilangsungkan secara demokratis di Jerman. Tiada apalah kita tidak tahu sejarah demokrasi Jerman, tapi kita perlu tahu sejarah demokrasi di negeri sendiri. Gunanya, agar kita bisa bersikap benar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Tidak usah jauh-jauh sampai ke tahun 1955, ketika Pemilu pertama--yang dinilai paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia--digelar dan sukses. Tidak usah juga memikirkan nasib demokrasi Indonesia yang tidak berumur panjang kala itu, setelah dimatikan oleh dekrit presiden 5 Juli 1959. Cukuplah bagi kita membuka lagi ingatan pada masa pra reformasi '98, agar kita tidak terjerumus lagi ke dalam jebakan otoritarianisme yang sama.

Kawan, dalam waktu lima tahun setelah Orde Baru berhasil menggulingkan Pemerintahan Sukarno pada 1966, otoritarianisme militeristik sanggup meneguhkan kekuasaannya di Indonesia. Selama 32 tahun kemudian Indonesia berada di bawah kekuasaan rezim militer. Partai-partai politik dibonsai, dari puluhan tinggal menyisakan tiga saja, Pemilu tidak lebih sebagai rekayasa, hasilnya sudah dipastikan sebelum Pemilu itu dimulai, kebebasan berekspresi hilang.

Jangankan demonstrasi, protes yang dilakukan secara bisik-bisik saja bisa dianggap sebagai tindakan penghasutan. Sikap kritis disamakan dengan pembangkangan, perbedaan pendapat dinilai sebagai subversi. Orang-orang kritis kerap hilang tanpa jejak. Demokrasi Pancasila tak lebih jadi retorika, pembenar segala tindakan anti demokrasi.

Baru dua dekade sejak 1998, Indonesia kembali hidup di alam demokrasi, benih-benih otoritarianisme kembali memperlihatkan diri. Modus operandinya tidak sekeras rencana kudeta 1965-66, namun mengikuti cara-cara demokratis. Kita menyaksikan elit militer aktif tiba-tiba berhenti dari karir militernya, lalu masuk ke dunia politik dengan menjadi calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik tertentu. Selain di Sumut, di Jawa Barat juga ada calon gubernur dengan latar belakang militer. Modus mereka kemudian mudah terbaca, Indonesia harus kembali dikuasai oleh kaum militer dengan langkah-langkah kecil yang dimulai dari pinggiran, dari daerah-daerah, melalui Pilkada-Pilkada.

Jika kita bisa bersikap kritis, atau paling tidak, cermat memperhatikan benih-benih militerisme yang menyeruak ke permukaan, pastilah kita bisa bersikap waspada dan tidak membiarkan benih itu mengakar hingga militerisme kembali tumbuh dan kuat di Indonesia. Demokrasi sedang menjadi arus utama saat ini, mereka pun menggunakan cara-cara demokratis untuk merebut pengaruh dan memenangkan posisi politik. Mereka berkampanye, menggunakan teknik-teknik komunikasi persuasif, melakukan personal branding, demi mengurangi bau militer yang kerap menyengat penciuman kita.

Sumut adalah contoh kasus yang tepat bagaimana ide militerisme itu disembunyikan dalam kemasan kampanye. Mereka memanen pengikut dari kelompok-kelompok masyarakat yang anti perbedaan, anti demokrasi. Dengan sedikit menajamkan penglihatan saja, kita bisa melihat kekakuan yag luar bisa dalam sepak terjang mereka. Tiada dialog, yang ada monolog.

Tiada diskursus, yang ada kursus. Tidak ada bottom up, ya ada top down. Efektifitas kepemimpinan diagung-agungkan, mengancam aspirasi luas masyarakat Sumut. Kepemimpinan yang aspiratif sama sekali tidak mereka kenal. Kebenaran tidak boleh memiliki banyak tafsir, melainkan harus mengikuti maunya si kuat. Dan kekuatan sangat identik dengan senjata dan pentungan. Siapakah yang bisa mengokang senjata jika bukan kaum militer?

Penggunaan senjata dan kekerasaan memang ada yang dijamin oleh undang-undang, sejauh menyangkut soal-soal keamanan dan penjagaan atas kedaulatan negara. Itulah fungsi militer di negara yang berdaulat, dan sangat berbahaya seandainya masuk ke ranah politik dalam negeri. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, dan mereka bukan dari kalangan militer, maka kita boleh menyebutnya sebagai preman.

Nah, apa jadinya Sumut, jika gaya kepemimpinan militeristik bahu membahu dengan gaya kepemimpinan preman? Silakan pikir sendiri.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun